TEMPO.CO , Jakarta - Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat Satya Yudha mengatakan pemerintah bisa menurunkan harga bahan bakar minyak dengan mengurangi besaran pajak.
Pemerintah, menurut Satya, harus rela mengurangi penerimaan negara jika kebijakan ini berlaku. "Memang pendapatan berkurang. Tapi kalau sektor riil bisa tergerak kan bisa lebih bagus," katanya.
Ada dua pajak dalam struktur harga BBM. Pertama, pajak pertambahan nilai (PPN) yang menjadi kewenangan Kementerian Keuangan. Kedua, pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) yang dipungut pemerintah daerah.
PPN, menurut Satya, berpotensi dikurangi lantaran besarannya yang mencapai 10 persen. Angka ini dinilai terlalu tinggi di tengah pelemahan ekonomi yang memukul daya beli masyarakat.
Sementara itu, PBBKB menjadi kewenangan pemerintah daerah. Dia meminta Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan pemerintah daerah guna mengefektifkan kebijakan ini.
Namun, sekalipun direvisi, Satya beranggapan, rencana penurunan harga BBM itu tidak tepat waktu. Pemerintah seharusnya mengurangi harga BBM pada 1 Oktober sebagai konsistensi kebijakan skema penyesuaian harga per tiga bulan.
Dia memaklumi harga BBM yang tetap lantaran 50 persen kebutuhan BBM itu diimpor. Pelemahan kurs rupiah juga menjadi alasan harga BBM sulit turun.
"Masyarakat melihat, kalau harga dunia turun, BBM turun. Padahal kan tidak seperti itu kalau impor," ucapnya.
Sekretaris Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Susyanto menyatakan lembaganya masih mengkaji kemungkinan pengurangan harga BBM. Penurunan harga, menurut Susyanto, belum menjadi keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
"Pada kajian awal kan diputuskan tidak ada penurunan harga," katanya.
ROBBY IRFANY