TEMPO.CO, Jakarta - Warga Kota Semarang mulai menggemari kerajinan dari kulit buaya asal Papua. "Namun, karena harganya tidak murah, peminatnya terbatas dari kalangan menengah ke atas," kata salah satu produsen produk kulit buaya asal Papua, Joko Tri Wahyono, dalam pameran kerajinan tangan, Senin, 5 Oktober 2015.
Penjualan hasil kerajinan kulit buaya di Kota Semarang lebih baik dibandingkan daerah lain, meski tak sebagus penjualan di Jakarta. "Kebetulan saya memasarkan produk ini di Kota Semarang belum lama," ujarnya. Menurut Joko, konsentrasi pemasaran kerajinan kulit buaya adalah ke Jakarta.
Mengenai bahan baku, pihaknya masih sebatas menggunakan kulit buaya asli Papua. Menurut dia, sejauh ini bahan baku tersebut masih mudah diperoleh. "Saya khusus menggunakan kulit dari buaya liar. Sebab, kalau menggunakan yang dari penangkaran, tentu harganya lebih mahal karena harus disesuaikan dengan biaya pemeliharaan," tuturnya.
Meski demikian, memperoleh bahan baku tersebut bukan perkara mudah karena harus mengurus surat izin. Pihaknya mesti memastikan surat izin dari pemerintah karena tidak ingin produknya dianggap ilegal.
"Buaya merupakan salah satu binatang yang dilindungi. Namun, selama kami memiliki izin yang resmi dari pemerintah, penggunaan bahan baku dari buaya tidak dipermasalahkan," ucapnya.
Untuk satu lembar kulit buaya, dia bisa membuat dua produk ukuran kecil atau satu produk ukuran besar. Untuk beberapa produk yang dapat dihasilkan di antaranya tas, dompet, sepatu, ikat pinggang, dan tas golf.
"Harga ikat pinggang sekitar Rp 700 ribu, untuk sepatu harganya pada kisaran Rp 1,5 juta, sedangkan tas bisa sampai Rp 3 juta," kata Joko. Produk termahal adalah tas golf yang mencapai Rp 25 juta.
ANTARA