TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Energi dan Sumber Daya Mineral Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan moratorium penerbitan izin tambang. Alasannya, saat ini sedang dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. "Kita manfaatkan momen ini untuk pembenahan ke dalam," kata anggota Komisi Energi, Harry Poernomo, Senin, 14 September 2015.
Saat ini rancangan revisi UU Minerba sedang dibahas di Badan Legislasi DPR. Targetnya, aturan itu bakal rampung direvisi pada akhir tahun ini.
Alasan yang mendasari usulan Harry di antaranya lemahnya pengawasan pemerintah terhadap perusahaan pemegang izin tambang. Anggota Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya ini menemukan beberapa kasus ekspor mineral yang kandungan dan jumlahnya tidak sesuai dengan catatan negara. Padahal ekspor tersebut sudah ditinjau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta surveyor.
Akibatnya, ada kekurangan devisa yang diterima pemerintah. Salah satu perusahaan ini dikabarkan akan habis masa izin ekspornya. Jadi, menurut Harry, tidak perlu diperpanjang.
Nantinya moratorium dapat dimanfaatkan pemerintah provinsi ataupun kabupaten untuk membentuk aparat khusus yang mengawasi usaha pertambangan. Tim ini harus mengerti, setidaknya soal kandungan mineral, ketika suatu produk tambang hendak diekspor.
Masalah kedua adalah banyaknya perusahaan pemegang izin usaha pertambangan yang berstatus non clean and clear. Artinya, perusahaan ini tidak punya ketaatan administrasi yang baik terhadap aturan pertambangan negara.
Lebih dari 3.000 perusahaan tercatat menjadi pemegang IUP mineral, baik logam maupun nonlogam. Nyatanya, sebagian besar perusahaan juga tidak mempunyai ekuitas yang baik, sehingga investasi pertambangan mereka sebenarnya tidak prospektif.
Harry menuturkan untuk membenahi ribuan perusahaan “sakit” ini tidak cukup dalam waktu lima tahun. "Bagaimana kita keluarkan yang baru kalau yang selama ini enggak sesuai."
ROBBY IRFANY