TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom menegaskan, kondisi perekonomian Indonesia saat ini tidak dalam fase krisis. "Menurut saya, enggak. Segala hormat saya bagi semua yang mengatakan krisis ya kok rasanyaenggak krisis ya. Kalau bicara potensi krisis selalu ada, iya," ujar ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetiantono, di kompleks Bank Indonesia, Rabu, 2 September 2015.
Menurut dia, melihat indikator perekonomian Indonesia saat ini, yakni pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan cadangan devisa, belum menunjukkan tanda Indonesia masuk dalam kondisi krisis. "Cuma, kalau melihat indikator sekarang, kayaknya enggak ya, masih belum. Perlambatan yang cukup lumayan, iya, tapi ini kan imbas dari ekonomi Cina," ucapnya
Tony berujar, perekonomian Cina sebelumnya bisa bertumbuh sebesar 13 persen, tapi sekarang pertumbuhan ekonomi Cina hanya diprediksi 6,3 persen. "Tahun ini paling cuma 6,3 persen, tidak 7 persen lagi. Jadi kepangkas separuh. Dari 13 persen kan cuma separuhnya. Jadi Indonesia tumbuh 4,7-4,8 persen tahun ini. Tahun depan kondisinya masih samalah. Jadi cukup wajar, proporsionallah. Cina jadi 6,3-6,5 persen dan Indonesia jadi 4,7 persen itu masih baik," tuturnya.
Walaupun kondisi ekonominya masih terbilang aman, Indonesia perlu waspada karena nilai tukar rupiah saat ini mencapai Rp 14 ribu per dolar Amerika Serikat. "Tapi tidak berarti kita tidak waspada ya, karena bagaimanapun kurs Rp 14 ribu itu membuat orang takut. Apa pun alasannya, itu enggak bener. Kurs Rp 14 ribu itu harus dikembalikan ke level yang masuk akal," kata Tony.
Menurut dia, level nilai tukar rupiah yang fundamental saat ini seharusnya berada pada 12.500 sampai 13 ribu per dolar AS.
Dia menilai tertekannya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini karena kecemasan berlebihan yang berdampak pada kepemilikan mata uang dolar.
"Celakanya, sekarang setiap orang di dunia ketika cemas, pegangnya dolar. Kalau dulu cemas, orang masih bisa pegang euro, yen. Tapi sekarang enggak bisa megang yen, karena ekonomi Jepang stagnan," ucap Tony.
Sebelumnya, Bank Indonesia juga menegaskan, kondisi ekonomi Indonesia tidak memasuki fase krisis, meskipun nilai tukar rupiah bergejolak hingga menembus 14.100 per dolar AS.
"Kami sampaikan tidak. Malah fundamental ekonomi Indonesia kita membaik. Tapi ekonomi dunia terus memburuk, apalagi ada sentimen Fed Rate akan naik dan devaluasi yuan," ujarnya.
Menurut dia, kondisi saat ini berbeda dengan 1997-1998. Waktu itu, pertumbuhan ekonomi merosot dari 4,7 persen tahun 1997 menjadi -13,7 persen pada 1998. Bahkan inflasi waktu itu melonjak dari 10,31 persen tahun 1997 menjadi 77,63 persen pada 1998.
Kondisi tersebut berbeda dengan saat ini: ekonomi 2014 yang tumbuh 5,1 persen turun 4,67 persen pada kuartal kedua 2015. Inflasi juga rendah dari posisi 2014 sebesar 8,36 persen menjadi 7,26 persen pada kuartal II 2015.
"Inflasi 77 persen saat krisis. Kita ingat BI Rate naik 57 persen. Sekarang inflasi mengarah ke 4,5 persen. Kami bersama pemerintah akan fokus jaga inflasi," ujar Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo.
Dia menjelaskan, pada krisis 1997 dan 1998, current account deficit atau CAD Indonesia masing-masing berada pada -1,6 persen terhadap PDB dan -3,8 persen terhadap PDB.
Saat ini kondisi CAD Indonesia sebesar -3,09 persen terhadap PDB pada 2014 dan -2,16 persen pada kuartal II 2015. Cadangan devisa Indonesia pada 1997 senilai US$ 21,41 miliar, sementara pada 1998 mencapai US$ 23,76 miliar. Sedangkan cadangan devisa pada 2014 sebesar US$111,96 miliar, dan pada kuartal II 2015 turun tipis menjadi US$ 107,55 miliar.
Adapun rasio utang luar negeri (external debt) Indonesia pada 1997 dan 1998 masing-masing 100,81 persen dan 126,69 persen, sedangkan external dept pada 2014 sebesar 33,06 persen dan pada kuartal II 2015 mencapai 34,42 persen.
"Cadangan devisa sekarang pada US$ 107 miliar itu untuk biayai tujuh bulan impor. Cadangan ini harus kita kelola dengan hati-hati," ucapnya.
Agus juga menyoroti perubahan kurs rupiah pada krisis 1997 dan 1998, yang masing-masing mengalami depresiasi mencapai 131 persen dari 2.363 menjadi 5.450 per dolar AS dan sebesar 48 persen dari 5.450 per menjadi 8.050 per dolar AS.
Pada 2014, rupiah melemah 1,81 persen dari 12.160 menjadi 12.485 per dolar AS.
"Pada 2015 ini rupiah hanya melemah 13,4 persen dari awal tahun hingga bulan Agustus, dari 12.485 menjadi 14 ribu per dolar AS," tutur Agus.
Dia mengatakan Indonesia pada waktu krisis 1998 tidak mempunyai kerangka kerja menargetkan sasaran inflasi dan tidak mempunyai tim pengendali inflasi daerah (TPID).
"Saat ini kami punya TPID di 34 provinsi untuk kendalikan inflasi daerah. Saat krisis 1998 itu juga tidak terdapat batasan defisit fiskal dan utang pemerintah serta belum ada lembaga penjamin simpanan. Kalau sekarang, ada jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi maksimal 3 persen PDB dan total outstanding utang pemerintah 60 persen dari PDB," ujar Agus.
BISNIS