TEMPO.CO, Yogyakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengkhawatirkan terjadinya kelangkaan komoditas jika nilai tukar rupiah terus melemah. Kepala BPS DIY Bambang Kristianto mengatakan, banyak perusahaan di Yogyakarta yang mengandalkan komoditas dan bahan baku impor.
Komoditas dan bahan baku impor yang banyak diimpor itu seperti kedelai, beras, daging sapi, jagung, susu, obat-obatan, dan bahan baku perusahaan garmen. “Bila rupiah terus melemah, harga komoditas semakin naik. Kelangkaan barang menjadi ancaman,” kata Bambang di Yogyakarta, Rabu, 2 September 2015.
Bambang mengatakan pemerintah harus bisa mengontrol harga kedelai impor agar tidak terjadi kelangkaan tempe dan tahu di pasaran. Bambang berharap nilai tukar rupiah terhadap dolar bisa menguat lagi dan tidak terus melemah hingga menembus Rp 15 ribu per dolar. Meskipun begitu, ia menilai kondisi ekonomi saat ini, tidaklah seperti krisis ekonomi pada 1998.
Data BPS DIY menunjukkan kain tenun berlapis adalah komoditas impor utama DIY. Nilai impor kain tenun sebesar US$ 42.223 atau 41,87 persen dari total impor sebesar US$ 100.841. Pada Juli lalu, impor produk lebih meningkat 6,07 persen dibanding Juni. Komoditas lainnya berupa kulit mentah, kain rajutan, plastik, dan barang plastik. DIY mengimpor sejumlah produk dari Korea Selatan, Jepang, dan India.
Bambang menyatakan merosotnya nilai tukar rupiah memukul perusahaan tekstil yang mengimpor bahan baku seperti benang impor. Sebagian dari perusahaan itu mulai melakukan efisiensi dengan cara melakukan pemutusan hubungan kerja. Ada juga yang memilih untuk mengurangi jam kerja karyawan.
Sekretaris Primer Koperasi Tahu Tempe Indonesia Kabupaten Sleman Wihan Padmanto mengatakan, importir belum menaikkan harga kedelai impor. “Perajin tahu dan tempe belum menaikkan harga karena harga kedelai masih stabil,” kata Wihan. Harga kedelai impor dari Amerika Serikat saat ini Rp 7.200 per kilogram.
SHINTA MAHARANI