TEMPO.CO, Jakarta - Rasio utang Indonesia dinilai sudah masuk tahap lampu kuning, sehingga pemerintah diharapkan tak menambah pinjaman. Menurut ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, Indonesia memang butuh dana segar dalam bentuk dolar Amerika Serikat untuk menahan laju penguatan mata uang negara tersebut.
"Tapi bentuknya jangan berupa utang, melainkan dari investasi," kata Enny menjawab pertanyaan seputar kedatangan Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde, Selasa, 1 September 2015.
Enny menjelaskan penambahan utang akan membuat risiko terhadap likuiditas membesar. Selain itu, devisa Indonesia bakal habis hanya untuk membayar cicilan dan bunga.
Hingga akhir Juli, cadangan devisa Indonesia mencapai US$ 107,5 miliar, turun dari bulan sebelumnya sebesar US$ 108,03.
Sementara jumlah utang Indonesia per Agustus 2015 tercatat sebesar Rp 2.911 triliun yang terdiri atas pinjaman sebesar Rp 694 triliun dan Surat Berharga Negara sebesar Rp 2.217 triliun. Secara rasio, jumlah itu sudah mencapai 27,6 persen dari Produk Domestik Bruto 2014. "Risikonya terlalu tinggi dan banyak utang yang tidak produktif," katanya.
Enny berpendapat pemerintah saat ini seharusnya melakukan peningkatan penyerapan anggaran. "Fokusnya adalah belanja yang bisa memberikan stimulus buat meningkatkan daya beli masyarakat dan produktivitas," ujar Enny.
Penyerapan belanja kementerian dan lembaga per 31 Juli 2015 baru mencapai Rp 261 triliun atau 32,8 persen dari pagu APBN-P 2015 yang sebesar Rp 795,5 triliun
Jadi, ujarnya, buat apa menambah utang baru kalau anggaran yang ada saja tidak terserap. Selain penyerapan, Enny menyebut pemerintah saat ini harus mengoptimalkan penerimaan negara. "Pemerintah harus disiplin dengan anggarannya sendiri."
Dalam kuliah umumnya di Universitas Indonesia, Selasa, 1 September 2015, Managing Director IMF Christine Lagarde mengatakan Indonesia harus memperhatikan tiga hal untuk mempersiapkan ekonomi. Ketiga hal tersebut adalah pembangunan infrastruktur, iklim investasi, dan perdagangan.
Menurut Lagarde, pembangunan infrastruktur bagi negara yang memiliki 17 ribu pulau adalah hal vital. Infrastruktur penting untuk menghubungkan orang dan pasar dengan daerah lain, bahkan dunia.
“Biaya logistik di Indonesia mencapai 24 persen dari PDB. Ini terlalu tinggi dibandingkan dengan Malaysia yang hanya 13 persen,” kata Lagarde.
Kedua, iklim investasi. Cina, Jepang, dan Korea Selatan, ia menunjuk contoh, adalah negara-negara maju yang mengembangkan potensi mereka dengan melibatkan dunia. Ketiga negara itu belajar dari dunia, melakukan internalisasi terhadap teknologi baru, dan kemudian bergabung dengan pasar global.
“Indonesia dapat melakukan hal yang sama. Tapi yang pertama harus dilakukan adalah merampingkan peraturan investasi yang kompleks serta harmonisasi peraturan nasional dan lokal,” ujar Lagarde.
Terakhir, integrasi perdagangan. Perdagangan selalu menjadi pendorong utama kegiatan ekonomi Indonesia. “Penting untuk melakukan liberalisasi perdagangan lebih lanjut dan integrasi, terutama dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN.”
PRAGA UTAMA | TRI ARTINING PUTRI