TEMPO.CO, Jakarta – Analis dari Eshandar Artha Mas Berjangka, Tony Mariano, mengatakan belum adanya sentimen positif bakal menyebabkan rupiah cenderung melemah. Hari ini, ada kemungkinan rupiah bergerak pada level 14.000-14.100 per dolar Amerika Serikat.
Kepanikan pelaku pasar atas masa depan perekonomian Cina kian memperkuat dolar. Data manufaktur (Caixin Flash Manufacturing PMI) Cina yang melambat ke level 47,1 memancing investor untuk terus menahan dan membeli aset berdenominasi dolar. ( Lihat Video Industri Kecil yang Terdampak Akibat Melemahnya Rupiah, Pengamat: Rupiah Akan Terus Melemah Hingga AKhir Tahun, Rupiah Terus Melemah Krisis Ekonomi 1998 Bisa Terulang )
Akibatnya, mayoritas kurs regional kembali terpuruk. Ringgit mengalami pelemahan tertinggi sebesar 1,79 persen ke level 4,2430 per dolar AS, diikuti rupee yang melemah 1,21 persen menjadi 66,613 per dolar AS, dan rupiah yang turun 108,2 poin (0,78 persen) ke level 14.049,5 per dolar AS.
Tony berujar, di tengah kebijakan devaluasi yuan, prediksi perlambatan data manufaktur meneguhkan keyakinan investor atas krisis perekonomian Cina. “Krisis Cina memang tak bisa dibantah,” ucapnya Sennin 24 Agustus 2015.
BACA:
Rupiah Terpuruk, Industri Tekstil Terjerembab
Setelah 14 Ribu, Rupiah Bisa Tembus ke 15 Ribu?
Apalagi, tutur Tony, Cina sudah menempuh sebagian besar opsi perbaikan kinerja perekonomiannya. Mulai stimulus suku bunga acuan, larangan menjual saham, hingga pelemahan nilai mata uang (devaluasi) yuan. Namun strategi itu belum mampu menahan perlambatan ekonomi.
Selain karena faktor Cina, kata Tony, rupiah lesu akibat tingginya permintaan dolar di dalam negeri. Walaupun Bank Indonesia (BI) sudah mengerek batas pembelian dolar di atas US$ 25 ribu, permintaan mata uang greenback itu tetap meningkat. “Sebagian besar investor menjadikan dolar sebagai bentuk antisipasi.”
Guna mencegah panic buying, Tony pun menyarankan agar Bank Indonesia sering membangun komunikasi soal depresiasi rupiah, termasuk soal transaksi lindung nilai (hedging). “Perilaku antisipasi justru memberi makna buruknya pemahaman soal hedging,” ujarnya.
MEGEL JEKSON