TEMPO.CO, Bogor - Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo mengklaim bahwa kondisi ekonomi saat ini tak separah jika dibandingkan krisis 1998 dan 2008. Selain nilai cadangan devisinya lebih tinggi, volatilitas nilai tukar juga lebih terkendali.
Indikator lain adalah inflasi. Saat krisis tahun 1997-1998, angka inflasi sempat meningkat hingga 60 persen. "Sekarang inflasi mengarah ke 4 persen, artinya di bawah 4,5 persen," kata Agus usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Bogor, Senin 24 Agustus 2015.
Dengan asumsi tersebut, Agus mengatakan bahwa secara umum kondisi fundamental dalam negeri lebih baik. Yang harus dilakukan saat ini, kata Agus, adalah menjaga agar jangan ada sentimen pesimisme.
Pada penutupan perdagangan Senin, 24 Agustus 2015, IHSG turun tajam 172,22 poin (3,97 persen) ke level 4.163,73. Indeks Harga Ssaham Gabungan (IHSG) sejak awal perdagangan sudah dibuka di teritori negatif, bahkan sempat menyentuh posisi terendah di level 4.111,11. Sedangkan nilai tukar rupiah, rupiah turun 108,2 poin (0,78 persen) ke level 14.049,5 per dolar Amerika Serikat.
Menanggapi hal itu, Agus meminta agar pasar tak panik. Menurut dia, hal itu wajar karena kondisi eksternal yaitu perbaikan ekonomi Amerika Serikat. Negeri Abang Sam tersebut berencana menaikkan tingkat suku bunga mereka. Dia mengklaim pemerintah Indonesia sudah merespon dengan melakukan koordinasi antar lembaga.
"Kebijakan yang dikeluarkan itu konsisten dan prudent. BI juga akan selalu ada di pasar untuk menjaga agar stabilitas rupiah terjaga," ujarnya. Pasar juga tak perlu khawatir karena cadangan devisa di akhir Juli tercatat masih di atas US$ 107 miliar. "Ini cukup membiayai impor kami selama tujuh bulan."
FAIZ NASHRILLAH