TEMPO.CO, Jakarta - Devaluasi Yuan sebesar 2 persen turut berdampak pada nilai tukar rupiah yang pada perdagangan hari ini turun 0,41 persen diangka 13.607. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan pelemahan akibat manuver Cina tersebut tak terhindarkan.
"Hampir semua mata uang melemah," ujar Mirza dalam keterangan resminya hari ini, Selasa, 11 Agustus 2015. Selain pergerakan Yuan tersebut, Dolar Amerika Serikat tetap saja menunjukkan tajinya sebagai sentimen utama pelemahan mata uang dunia.
Menurut Mirza, setidaknya, Rupiah tak terkoreksi begitu parah di region Asia. Pernyataan Mirza merujuk pada pelemahan dollar Singapura, won Korea Selatan, dolar Taiwan, dan bath Thailand yang turun melebihi prosentase pelemahan rupiah (di atas 0,41 persen).
Mirza mengklaim, rupiah kini, masih cukup kompetitif dan kuat, terutama pada ketatnya kompetisi ekspor manufaktur. Nilai tukar rupiah terhadap sektor pariwisata, ujar Mirza, juga masih kompetitif untuk menarik wisatawan.
"Kami yakin hal ini bersifat sementara," kata Mirza. Pun dia menjamin bank sentral negara akan terus memantau pergerakan rupiah dan takkan segan-segan melakukan intervensi untuk menekan volatilitas nilai tukar.
Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati mengatakan hal ini akan menjadi tantangan berat bagi Indonesia. "Khususnya untuk pak Gobel," katanya ketika dihubungi.
Menurutnya, devaluasi yuan ini akan mematik banjir impor produk dari Cina karena harganya yang turun. Hal tersebut berujung pada potensi makin membengkaknya defisit neraca belanja antara Cina dan Indonesia.
Penekanan impor dan peningkatan ekspor industri, ujarnya, menjadi solusi untuk menekan defisit di tengah jatuhnya sektor komoditas. "Kalau defisit semakin melebar, nilai tukar juga semakin riskan," katanya.
ANDI RUSLI