TEMPO.CO, Semarang - General Manager Terminal Peti Kemas Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Erry Akbar Panggabean, menargetkan pelayanan bongkar-muat mencapai 1 juta twenty foot equivalent units (teus). Target itu lebih tinggi dibandingkan pelayanan saat ini yang mencapai 640 ribu teus.
“Satu juta teus sebuah cita-cita. Kami pasti berusaha mewujudkannya,” kata Erry setelah pisah-sambut jabatan General Manager Terminal Peti Kemas Pelabuhan Tanjung Emas, Selasa, 4 Agustus 2015.
Target itu diperkirakan terealisasi 1-2 tahun ke depan. Upaya yang dilakukan Terminal Peti Kemas di antaranya menyiapkan infrastruktur. Saat ini sedang berlangsung perluasan lapangan penumpukan peti kemas dan tambahan dermaga labuh, yang diperkirakan selesai akhir September. Sedangkan pada Oktober, container crane dipastikan akan tiba di Semarang. Lalu, pada Desember, matig ATC juga akan tiba.
Manajer Operasi Terminal Peti Kemas Pelabuhan Tanjung Emas Edy Sulaksono menambahkan, saat ini sedang dilakukan kunjungan ke sejumlah daerah untuk meyakinkan pelaku industri agar mau mengirimkan barang yang diekspor lewat Pelabuhan Tanjung Emas. “Kami tindak lanjuti dengan roadshow menemui pengurus dan anggota Kadin di daerah, termasuk pemerintah daerah yang memiliki kawasan industri,” ujar Edy.
Edy juga mengerahkan timnya ke Singapura untuk meyakinkan pelaku bisnis di sana bahwa Pelabuhan Tanjung Emas memiliki kemampuan lebih dalam pelayanan bongkar-muat. “Target pelayanan 1 juta teus peti kemas itu diyakini tercapai karena didukung sistem online yang bisa melihat pergerakan bisnis ekspor-impor,” tuturnya.
Pelayanan bongkar-muat di pelabuhan ini pernah dipersoalkan Presiden Joko Widodo. Pada Rabu, 17 Juni 2015, Presiden Jokowi marah saat melihat data yang menunjukkan bahwa dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, mencapai 5,5 hari.
Menurut Presiden, hal tersebut mencerminkan bahwa pelayanan bongkar-muat barang di pelabuhan masih sangat lambat. Jokowi geram kepada para pejabat yang tidak berupaya mempercepat pelayanan bongkar-muat hingga kurang dari lima hari. Padahal pemerintah menargetkan perbaikan dwelling time menjadi rata-rata 4,7 hari untuk tahun ini.
EDI FAISOL