TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Kesehatan dan Kepala Badan Pengelola Jaminan Sosial untuk melakukan dialog dengan Majelis Ulama Indonesia. Dialog diadakan terkait dengan fatwa haram yang dikeluarkan instansi tersebut.
MUI mengeluarkan keputusan bersama hasil ijtima soal sistem BPJS. MUI menilai sistem premi hingga pengelolaan dana peserta BPJS Kesehatan tak sesuai fikih.
"(Dialog) akan mencari titik temu di mana poin-poin yang diungkap dalam kajian MUI akan disampaikan dan dipelajari apakah memang harus ada modifikasi atau memang sudah cukup sistem itu," ujar Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto di Istana Negara, Jumat, 31 Juli 2015.
Menurut Andi, Menteri Kesehatan telah berdialog dengan Kepala BPJS. Kemudian, kata Andi, dialog keduanya dengan MUI dilakukan pekan depan sesuai dengan permintaan lembaga pimpinan Din Syamsuddin tersebut. "Setelah muktamar NU dan Muhammadiyah, kita menunggu hasil dialog, kemudian Menkes dan Kepala BPJS akan melapor ke Presiden," kata dia.
Sebelumnya, menurut Wakil Ketua Dewan Pengurus Harian Dewan Syariah Nasional MUI Jaih Mubarok, ada tiga alasan yang mendorong keluarnya keputusan tersebut, antara lain ketidakjelasan status iuran atau premi BPJS. (Lihat Video MUI Bantah Keluarkan Fatwa Haram BPJS, Tapi...)
Sebab, kata Jaih, dalam prinsip syariah harus diatur bagaimana status, kejelasan bentuk, dan jumlah akad atau iuran. Jika tidak, maka BPJS telah melakukan gharar atau penipuan.
Kedua, menurut Jaih, iuran yang disetorkan para peserta tak jelas kedudukannya. "Setelah disetorkan, apakah itu milik negara, BPJS, atau peserta?" kata dia.
Berikutnya, MUI mempertanyakan investasi iuran peserta yang dikelola BPJS. MUI khawatir BPJS mengelola iuran tersebut dengan deposito, saham, dan cara lain di bank non-syariah.
TIKA PRIMANDARI | PUTRI ADITYOWATI