TEMPO.CO, Jakarta - Perusahaan asal Turki, Hitay Investment Holding, sebenarnya sudah menyatakan minatnya untuk berinvestasi pada sektor pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Indonesia. Bahkan perusahaan itu dikabarkan sudah melobi Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo untuk mendapat jatah investasi tersebut.
"Tapi Pak Menko menolak karena aturannya harus lelang dulu," ujar Direktur Jenderal Energi Baru-Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rida Mulyana, Kamis, 30 Juli 2015.
Hitay saat ini sudah mendapat karpet merah untuk melaksanakan survei pra-eksplorasi di sekitar Sumatera Barat dan Bengkulu. Survei dilakukan di delapan lokasi selama setahun.
Nantinya, hasil survei menghasilkan perkiraan cadangan panas bumi di suatu lokasi. Hasil yang datanya menjadi milik pemerintah ini digunakan Kementerian Energi guna menggelar pelelangan terbuka wilayah kerja panas bumi.
Jika pelelangan resmi dibuka, Kementerian berjanji Hitay mendapat right to match atau previlese khusus untuk memenangi tender dibandingkan pelamar lain. "Pemain panas bumi kita soalnya belum banyak," kata Rida.
Menurut Rida, rencana investasi Turki dilatari kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif beli listrik dari pembangkit panas bumi. Kementerian telah merevisi harga beli listrik dari pembangkit listrik tenaga mini hydro menjadi US$ 12 sen per kilowatt hour (kWh) dari sebelumnya Rp 656 saja. Kementerian Energi juga telah menetapkan harga beli listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi sebesar US$ 13-14 sen per kWh.
Rida berharap kenaikan tarif dapat meningkatkan animo investor untuk membangun PLTP lain di Indonesia. Sebab, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengamanatkan, dari rencana program pengembangan kapasitas listrik 35 ribu megawatt, 25 persen di antaranya harus berasal dari energi baru dan terbarukan.
ROBBY IRFANY