TEMPO.CO, Jakarta - Gerakan Buruh Indonesia (GBI) mengancam mogok kerja secara nasional. Ancaman itu akan digelar setelah libur Lebaran mendatang, menyusul ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang BPJS Ketenagakerjaan mengenai Jaminan Pensiun dengan besar iuran 3 persen dan manfaat pensiun 40 persen dari upah terakhir.
GBI mendesak pemerintah mengubah peraturan tentang Jaminan Pensiun dan Jaminan Hari Tua. "Kalau ini berlarut-larut, akumulasi dengan kenaikan upah minimum, bisa dipastikan akan mogok nasional. Semua serikat buruh akan ikut," klaim Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, Kamis 2 Juli 2015.
Dalam Peraturan itu pemerintah juga menetapkan Jaminan Hari Tua hanya bisa dicairkan 10 persen setelah 10 tahun bekerja dan baru bisa diambil penuh setelah pekerja berusia 56 tahun. GBI menolak aturan yang dirasa menyusahkan pekerja tersebut.
Pasalnya, jika mengacu pada besaran iuran 3 persen , maka manfaat yang akan diterima nantinya sekitar 3,4 juta rupiah untuk yang tertinggi, dan 300 ribu rupiah untuk yang terendah. Angka tersebut dinilai sangat tidak layak.
Said menyatakan, langkah yang akan ditempuh GBI antara lain mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung untuk merubah aturan Jaminan Pensiun dan JHT, lalu juga meminta DPR RI untuk menggunakan hak interplasinya.
GBI juga menganggap aturan BPJS yang baru ditetapkan diskriminatif dan inkonstitusional.
Said Iqbal menilai manfaat pensiun sebesar 40 persen dari upah rata-rata sangat tidak layak bagi pekerja yang memasuki masa pensiun. Said menyatakan manfaat pensiun minimalnya 60 persen.
"Besaran manfaat jaminan pensiun bulanan minimal adalah 60 persen dari upah terakhir. PNS, TNI, Polri pun mendapatkan manfaat bulanan 75 persen. Prinsipnya, manfaat antara buruh dan PNS, TNI, Polri tidak boleh ada diskriminasi," kata Said.
NIBRAS NADA NAILUFAR