TEMPO.CO, Jakarta - PT Freeport Indonesia menyanggupi permintaan pemerintah agar mengubah skema operasi menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Perubahan bakal dilakukan sebelum masa kontrak karya berakhir pada 2021.
"Kami berusaha mematuhi kewajiban sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Mineral dan Batu Bara," ujar CEO Freeport Indonesia Maroef Sjamsudin di Jakarta, Rabu, 10 Juni 2015.
Pasal 169-b Undang-undang Minerba mengamanatkan seluruh kerja sama pertambangan pemerintah-swasta diubah menjadi izin usaha pertambangan atau izin usaha pertambangan khusus. Dengan komitmen perubahan ini, Freeport hanya tinggal menuntaskan satu kesepakatan sebagai syarat perpanjangan kontrak, yakni aspek fiskal.
Juru bicara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadan Kusdiana, menyebutkan skema operasi berupa kontrak karya selama ini menyebabkan posisi pemerintah sebagai pemegang kuasa bumi, air, dan segala material yang ada di dalamnya menjadi sejajar dengan perusahaan swasta. Padahal pemerintah sebagai perwakilan negara sekaligus pemberi izin harus mempunyai posisi di atas perusahaan.
Dengan adanya peralihan skema operasi, Dadan menyatakan, Freeport harus mematuhi syarat dan ketentuan perizinan yang diatur dalam UU Minerba. Salah satunya ihwal luas lahan, yang hanya diberikan maksimal 25 ribu hektare.
Baca Juga:
Ihwal ketentuan ini, Maroef berjanji aspek teknis perizinan bakal dibicarakan lebih lanjut oleh pemerintah. Meski demikian, perusahaannya menjamin bakal menaati aturan perolehan izin. "Soal kapan, kelanjutan itu bergantung pada dialog," ucapnya.
Freeport beroperasi dengan skema kontrak karya sejak 48 tahun lalu. Perjanjian ini akhirnya membuat pengaturan operasional Freeport menjadi aturan khusus dalam kontrak, tanpa mengacu ke aturan perundang-undangan.
Kontrak itu tak bisa memaksa Freeport menunaikan kewajibannya. Salah satunya kewajiban membagi dividen ke negara, yang tidak dibayarkan sejak tiga tahun belakangan.
ROBBY IRFANY