TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin sore, 1 Juni 2015, bergerak menguat sebesar 36 poin menjadi Rp 13.188 per dolar Amerika Serikat dari posisi sebelumnya Rp 13.224 per dolar AS.
"Data produk domestik bruto (PDB) kuartal pertama AS yang negatif menjadi salah satu penekan mata uangnya," kata Kepala Riset Monex Investindo Futures Ariston Tjendra di Jakarta.
Dia mengemukakan bahwa pengukuran PDB kuartal pertama direvisi menjadi minus 0,7 persen dari sebelumnya 0,2 persen. Selain itu, meski belanja konsumen AS pada kuartal pertama tercatat naik 1,8 persen, kenaikannya masih di bawah rata-rata 2,4 persen sejak 2010.
"Belanja konsumen merupakan faktor krusial bagi ekonomi AS. Jika tidak menunjukkan peningkatan, kemungkinan besar laju pertumbuhan ekonomi AS belum akan terakselerasi," ujarnya.
Meski demikian, menurut dia, potensi pemulihan ekonomi AS masih terbuka menyusul data ekonomi lain yang menunjukkan pemulihan. Jika dikombinasikan dengan inflasi inti, ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed masih terbuka lebar.
Sementara itu, analis dari PT Platon Niaga Berjangka, Lukman Leong, menuturkan penguatan mata uang rupiah terhadap dolar AS diperkirakan hanya bersifat jangka pendek, menyusul sentimen dari dalam negeri mengenai angka inflasi Indonesia periode Mei yang naik dari bulan sebelumnya.
Badan Pusat Statistik mencatat, tingkat inflasi pada Mei 2015 sebesar 0,5 persen atau tertinggi dalam tujuh tahun terakhir pada bulan yang sama yang dipicu kenaikan harga bahan makanan.
"Angka inflasi yang tinggi bisa menahan penguatan rupiah lebih lanjut, sehingga tekanan mata uang rupiah masih dapat terjadi," tuturnya.
Sementara itu, dalam kurs tengah Bank Indonesia pada Senin, 1 Juni 2015, mencatat, nilai tukar rupiah bergerak melemah menjadi Rp 13.230 dari hari sebelumnya, Jumat, 29 Mei 2015, senilai Rp 13.211.
ANTARA