TEMPO.CO, Jakarta - Moratorium pemberian izin penangkapan ikan untuk kapal eks asing yang sudah berjalan sejak November 2014 oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dianggap sia-sia. Alasannya, selama enam bulan berjalan, tak banyak hal baru yang terungkap.
"Tidak ada temuan baru terkait modus dan pelaku illegal fishing, data dan kasus yang diungkap KKP sudah diketahui sejak 2007 silam," kata Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik dalam diskusi di Jakarta, Rabu, 27 Mei 2015.
Kesatuan Nelayan Tradisional juga menilai temuan tak bermanfaat. Sebab, penegakan hukum yang selama ini dilakukan kenyataannnya tak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan nelayan lokal.
Riza mengatakan dari 80 kasus kapal eks-asing tak berizin yang telah diungkap tim satgas pemberantasan illegal fishing adalah kasus lama dan sudah diketahui pemerintah. Badan Pemeriksa Keuangan malah sudah mengumumkan temuan ini sejak lima tahun lalu termasuk kerugian negara akibat tunggakan pajak dari para pelaku.
Menurut Riza, pemerintah harus segera menghitung kerugian negara dari kasus-kasus illegal fishing yang sudah diungkap. Dari perhitungan tersebut, pemerintah didorong untuk menggugat perusahaan perikanan yang bermasalah. "Paling tidak temuan selama lima tahun terakhir."
Baca Juga:
Terkait kesejahteraan nelayan, KNTI meminta pemerintah menghentikan kebijakan moratorium ini. Musababnya, akibat beleid ini laut menjadi sepi, pengusaha perikanan tradisional tak bisa beraktivitas. Selain itu, kata dia,"Ini membuat bank enggan mengucurkan kredit kepada nelayan karena usaha perikanan dianggap tak punya kepastian."
Usai moratorium nanti, Riza meminta KKP memprioritaskan izin penangkapan ikan diberikan kepada koperasi ataupun nelayan-nelayan lokal. "Jangan memberi izin baru ke perusahaan asing," ujarnya.
PRAGA UTAMA