TEMPO.CO, Jakarta: Direktur Institute of Development Economics and Finance Enny Sri Hartati mengatakan kisruh beras yang terjadi sekarang mesti segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. "Kalau pasokan kurang, mau tidak mau harus impor," ujar dia di kantornya, Selasa, 24 Februari 2015.
Enny mengatakan impor harus dilakukan jika pasokan beras tidak sesuai dengan batas bawah yang ideal. Sebanyak 2,5 juta ton cadangan, ujarnya, adalah batas ideal agar pemerintah tidak harus impor. Tapi mengutip pernyataan Direktur Utama Perusahaan Umum Bulog Lenny Sugihat, stok di awal Februari hanya 1,4 juta ton.
Menurut Enny, perintah impor juga diatur oleh undang-undang yang menyebutkan jika pasokan untuk konsumsi di dalam negeri tidak mencukupi, maka harus impor. Jika impor tidak dilakukan, maka harga masih akan terus melambung. "Saya pikir yang terjadi sekarang karena pasokan kurang," kata Enny.
Impor, Enny menambahkan, bisa dijadikan insentif bagi pedagang sendiri, karena harga komoditas sedang turun. "Harga beras internasional sedang turun, di kita saja yang naik," kata Enny.
Namun, Enny mengingatkan pemerintah berhati-hati agar impor tidak dimanfaatkan oleh importir nakal yang bisa membuat masalah beras semakin ruwet. Kisruh beras juga bisa dimanfaatkan segelintir pihak untuk mengkambinghitamkan Bulog sebagai regulator pasokan beras.
Avviliani, peneliti Indef, mengatakan masalah beras ini bisa dijadikan pelajaran bagi pemerintah. Kisruh beras sekarang ini bisa menjadi motivasi pemerintah untuk meningkatkan produksi beras dan pertanian lain.
Karena produktivitas semakin menurun, Avviliani mengatakan pemerintah sudah seharusnya membuka lahan-lahan pertanian baru. Selain membuka lahan baru, transmigrasi harus digalangkan lagi agar pemerataan tenaga kerja dapat terlaksana, yang juga akan berujung pada pemerataan pembangunan.
ANDI RUSLI