TEMPO.CO, Bangkalan - Pengusaha kuliner di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, mengeluhkan aneka pajak yang harus dibayar kepada Pemerintah Kabupaten Bangkalan. Salah satunya, pajak yang dihitung berdasarkan jumlah piring kotor setiap harinya di restoran atau rumah makan.
"Ini kan aneh, kok pajak dihitung berdasarkan jumlah piring?" ucap Nal, pemilik rumah makan bebek terkenal di Bangkalan, mempertanyakan hal itu, Senin, 23 Februari 2015.
Baca Juga:
Nal menilai pungutan itu memberatkan karena metode pembayarannya terpisah dengan pajak rutin bulanan dan tahunan. "Makanya, kami tidak mau membuka berapa besar pendapatan kami setiap bulan, takut dicatat orang pemerintah. Nanti pajaknya dinaikkan lagi," ujarnya.
Kepala Dinas Pendapatan Kabupaten Bangkalan Setia Budi tidak menampik adanya kebijakan pajak “piring” tersebut. Namun, tutur dia, pajak tersebut bukan dihitung berdasarkan jumlah piring, melainkan berdasarkan jumlah pengunjung setiap harinya. "Pajak ini legal, diatur dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi. Namanya intensifikasi pajak," katanya.
Ia menjelaskan, intensifikasi pajak tidak dibebankan kepada pengusaha restoran. Retribusi itu dibebankan kepada setiap orang yang makan, yang penagihannya melalui pemilik usaha. Besaran retribusi, ujar Setia, 10 persen dari harga hidangan yang dibeli pelanggan. "Kalau harga makannya Rp 12 ribu, maka orang yang makan dikenai pajak Rp 1.200," tuturnya.
Menurut Setia, intensifikasi pajak ini hanya dikenakan kepada pengusaha kuliner yang memiliki banyak pelanggan. Sedangkan restoran yang sepi pembeli tidak dikenai intensifikasi pajak. "Intensifikasi ini besarannya naik setiap tahun," katanya.
MUSTHOFA BISRI