TEMPO.CO, Jakarta: Ekonom dari Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, menilai penerbitan surat utang dalam euro itu sangat efektif untuk mendiversifikasi risiko yang harus ditanggung pemerintah. Terlebih saat ini proporsi utang denominasi euro masih minim atau sebanyak 5 persen. “Bandingkan dengan utang dalam yen Jepang sebesar 18 persen dan dalam dolar AS sebesar 45 persen,” tuturnya ketika dihubungi Tempo, Kamis, 3 Juli 2014.
Utang dalam denominasi euro ini juga tak memberatkan karena bank sentral Uni Eropa menerapkan kebijakan deposito -0,1 persen. “Di sana bunga simpanannya rendah. Apalagi kupon yang ditawarkan sampai 3 persen. Itu bagus sekali," kata Lana. (Baca: Awal April, Pemerintah Lelang SUN Rp 8 Triliun)
Pernyataan tersebut merespons pertama kalinya pemerintah menjual obligasi negara dengan denominasi euro senilai 1 miliar euro atau sekitar US$ 1,4 miliar. Adapun permintaan obligasi tersebut mencapai 6,7 miliar euro atau hampir tujuh kali kelebihan permintaan (oversubscribed).
Tenor obligasi sepanjang tujuh tahun atau jatuh tempo pada 8 Juli 2021 itu menawarkan tingkat kupon 2,88 persen. Adapun imbal hasil dari obligasi itu sebesar 2,98 persen dan harga 99,37 persen. (Baca: Capital Inflow Dongkrak Nilai Tukar Rupiah)
Pendistribusian untuk seri RIEUR0721 adalah 24 persen untuk investor Inggris Raya, 24 persen untuk investor Asia, 19 persen untuk investor Jerman dan Austria, 18 persen untuk investor Amerika Serikat, empat persen untuk investor Swiss, dan 11 persen untuk investor Eropa lainnya. Adapun transaksi tersebut merupakan bagian dari Program Global Medium Term Notes Republik Indonesia sebesar US$ 25 miliar.
Adapun Koordinator Koalisi Anti Utang, Dani Setiawan, menilai yield dalam SUN tersebut masih terlalu besar dan akan semakin membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Terlebih berutang di kondisi perekonomian global yang masih tak menentu seperti sekarang sangat mengkhawatirkan.
Ia pun mengimbau pemerintah untuk tidak mudah mengobral SUN dan menambah daftar pinjaman utang. Selain akan berdampak negatif pada kemampuan anggaran negara, beban utang juga akan membuat alokasi anggaran pemerintah untuk program yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat menjadi berkurang. “Utang bahkan sering menjadi pintu masuk intervensi lembaga keuangan internasional,” tutur Dani.
TRI ARTINING PUTRI | MEGEL JEKSON
Berita terpopuler:
Menteri Hidayat Usul Pajak Tas Hermes Dihapus
Pemerintah Ogah Layani Gugatan Newmont
Angkut Semen dengan Kereta Hemat Rp 11 Miliar