TEMPO.CO, Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengakui saat ini belum ada pengusaha yang mengajukan aplikasi untuk memperoleh rekomendasi ekspor mineral dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). "Memang belum ada, kami belum mendaftar," kata Ketua Satuan Tugas Hilirisasi Mineral Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Didie W. Soewondho, kepada wartawan, Rabu, 5 Februari 2014.
Rekomendasi ekspor dari Kementerian Energi itu sejatinya diperlukan pengusaha untuk mendaftar sebagai eksportir di Kementerian Perdagangan. Belum adanya aplikasi yang diajukan secara tidak langsung berarti para pengusaha memang sengaja memboikot ekspor mineral. "Kami memang sengaja, biar saja sementara berhenti ekspor," kata Didie. (Baca juga : Minerba Indonesia Tekan Industri Aluminium Cina )
Didie menyatakan keengganan pengusaha mengajukan aplikasi merupakan akibat ulah pemerintah sendiri. "Kalau semua sudah jelas, beres, nanti juga kami mendaftar," katanya.
Ia menjelaskan, setelah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara disahkan, tahun ini berturut-turut lahir beleid baru yang mengatur ekspor tambang. Beleid baru tersebut yakni Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014, dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 4 Tahun 2014. (Lihat juga : Cina Siap Pasok Kokas untuk Smelter di Indonesia )
Hanya, Didie menyatakan semua beleid itu belum secara rinci mengatur petunjuk pelaksanaan untuk mendapatkan rekomendasi dari Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara serta pengakuan sebagai eksportir terdaftar (ET) dan surat persetujuan ekspor (SPE) dari Kementerian Perdagangan. Berbagai dokumen itu memang diperlukan untuk keperluan ekspor produk tambang olahan (belum dimurnikan).
"Perbedaan prosedur administrasi untuk pemegang kontrak karya (KK) dan izin usaha pertambangan (IUP) ini belum jelas, sosialisasinya kurang," ujarnya. (Ekspor Mineral, Jero Tolak Permintaan Freeport)
Selain itu, menurut Didie, Kementerian Energi juga belum secara resmi menetapkan metode penghitungan harga patokan mineral (HPM), apakah akan menggunakan harga yang berlaku di London Metal Exchange atau bursa mineral lain. Padahal, harga patokan ini nantinya akan digunakan untuk menghitung royalti dan menentukan harga patokan ekspor (HPE) sebagai dasar penghitungan bea keluar. "Menetapkan bea keluarnya semangat sekali, padahal harga patokan yang dipakai belum ada," ujarnya.
Secara tegas Didie menolak jumlah bea keluar (BK) sebesar 20-60 persen untuk ekspor tambang olahan dari 2014 hingga 2017. "Ini sangat memberatkan, merugikan, dan tidak rasional," ujarnya. Didie meminta pemerintah meninjau kembali jumlah bea keluar dengan lebih memperhatikan struktur biaya dan margin laba perusahaan tambang.
Bagaimanapun, saat ini sudah ada dua perusahaan pemilik smelter yang bisa dengan leluasa mengekspor produk tambangnya yang sudah dimurnikan. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Bachrul Chairi menyatakan kedua perusahaan tersebut yakni PT Aneka Tambang (ferro nikel) dan PT Vale Indonesia (nikel matte). (Berita lain : Ekspor Dilarang, 3 Pabrik Smelter Segera Operasi)
Keduanya sudah bisa mengekspor produk pertambangan yang telah memenuhi batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014.
Adapun pengaturan ekspornya didasarkan pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 4 Tahun 2014, yakni produk pertambangan yang telah memenuhi batasan minimum melalui mekanisme eksportir terdaftar dan verifikasi tanpa ada pengaturan jumlah tertentu. Hanya, "Volume ekspor yang dilakukan PT Antam dan PT Vale harus menunggu laporan dari Bea dan Cukai dulu," kata Bachrul.
PINGIT ARIA
Terpopuler :
Gita Wirjawan Nyapres, Australia Terancam?
Nadella Datang, Bill Gates Pun Hengkang
Satya Nadella, CEO Baru Microsoft
Dirjen Pajak Mengeluh Pegawainya Kurang Banyak
Gita Wirjawan Kini Fokus ke Konvensi Demokrat