TEMPO.CO, Jakarta - Sambil menenteng map berwarna hijau, Raniyem, 51 tahun, memasuki baris antrean di salah satu Kantor Pos Kebon Jeruk Jakarta Barat. Sementara tangan kanannya menenteng map berisi berkas, tangan kirinya menggandeng anak perempuannya, Dewi, yang berumur 6 tahun.
Sesekali dia menenangkan anaknya yang terlihat rewel karena bosan mengantre. "Selanjutnya Nomor 91," seru salah seorang petugas Kantor Pos. Raniyem mengintip nomor antrean di tangannya, nomor 114. Raniyem kembali menenangkan anaknya sambil sesekali mengipas menggunakan map yang dibawanya.
Antrean panjang warga memang membuat ruangan terasa pengap. Ruang tersebut sebenarnya lebih mirip basemen parkir yang disulap menjadi ruang tunggu.
Ketika nomor antreannya dipanggil, Raniyem bergegas menuju loket pengambilan uang. Tiga lembar uang seratus ribu dimasukkannya ke dompet. Raut sumringah seketika menghiasi wajah Raniyem.
"Alhamdulillah, ada tambahan buat bulan ini," ujar Raniyem senang. Uang Rp 300.000 memang bukan jumlah yang kecil bagi seorang buruh cuci sepertinya. Dalam sebulan, pendapatannya tidak lebih dari Rp 500.000. "Kalau ada yang nyuruh ya nyuci, kalau tidak ada ya tidak ada penghasilan," ujarnya.
Kabar gembira diterimanya beberapa hari sebelumnya. Saat itu seorang petugas kantor Pos mengetuk pintu rumah kontrakannya di daerah Kemanggisan Ilir Jakarta Barat. Sebuah amplop warna merah dibukanya, isi amplop tersebut adalah pemberitahuan bahwa dirinya merupakan salah seorang penerima Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). "Sempat senang awalnya, tapi pas tahu kalau itu gara-gara BBM naik jadi agak gimana," ujar Raniyem sambil tersenyum simpul.
Dengan harga BBM yang awal saja Raniyem mengaku harus bersusah payah menghidupi dua anaknya Dewi dan Wahyu, 16 tahun. "Dulu bisa makan daging dua minggu sekali saja sudah syukur, apalagi sekarang," keluhnya.
Belum lagi lanjutnya, utang yang belum terbayarkan kepada tetangga. "Utang biaya pengobatan almarhum suami saya saja belum terbayar," ujarnya sembari menunjukkan lembar tanggungan pembiyaan Rumah Sakit. "Utangnya sekampung," lanjut Raniyem terkekeh. Raniyem kemudian mengisahkan awal perjalanannya di Ibukota.
Nganjuk, kota kelahiran ditinggalkannya sekitar 30 tahun lalu demi segumpal harapan. Jakarta nampaknya masih menjadi magnet bagi orang desa sepertinya. "Dulu jadi buruh tani di kampung, tidak punya lahan sendiri akhirnya ke Jakarta."
Kerasnya kehidupan Jakarta benar-benar dirasakannya. Selain menjadi buruh pabrik, beberapa pekerjaan lain juga dijalaninya demi bertahan hidup di Jakarta.
Sempat gagal menikah dengan seorang pria, Raniyem kemudian bertemu dengan Rohim, seorang buruh bangunan. Semua kebutuhan rumah tangga disandarkannya pada sang suami kala itu.
Namun sejak tiga tahun lalu, Rohim suami yang selama ini jadi tulang punggung keluarga meninggal karena penyakit paru-paru. Sejak itu Raniyem harus berjuang untuk menghidupi kedua anaknya sendiri. "Sebenarnya sih senang dapat BLSM seperti ini, tapi lebih senang lagi kalau BBM tidak naik," harapnya.
Dengan kondisi yang serba kekurangan, Raniyem mengaku akan berusaha agar kedua anaknya bisa bersekolah hingga ke jenjang Perguruan Tinggi. "Pokoknya anak-anak harus sekolah," ujarnya menirukan ucapan mendiang sang suami.
FAIZ NASHRILLAH