TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar petani nasional pada April 2013 sebesar 104,55 atau naik 0,01 persen dibanding bulan sebelumnya. Nilai tukar petani adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani.
Nilai tukar ini dibuat dalam bentuk persen. Bila nilai yang dihasilkan di atas 100 berarti nilai barang yang dihasilkan petani melebihi nilai konsumsinya. Angka ini merupakan salah satu indikator untuk melihat daya beli petani di pedesaan.
"Semakin tinggi nilai tukar petani, maka semakin kuat pula daya belinya," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, dalam penjelasannya di Jakarta, Rabu, 1 Mei 2013.
Kenaikan nilai tukar petani didukung oleh kenaikan nilai tukar subsektor hortikultura sebesar 0,30 persen, dari 107,94 menjadi 108,27. "Kenaikan ini selain didukung naiknya harga beberapa jenis produk hortikultura juga didorong oleh kebijakan," kata Suryamin. Selain subsektor hortikultura, nilai tukar subsektor perkebunan rakyat juga naik 0,10 persen, dari 105,07 menjadi 107,17, dan subsektor peternakan naik 0,33 persen, dari 100,82 ke 101,15.
Sebaliknya, nilai tukar petani tanaman pangan justru turun 0,16 persen, dari 104,01 ke 103,84. "Ini terjadi karena masuk masa panen sehingga harga produk pangan cenderung menurun," kata Suryamin. Begitu juga pada subsektor perikanan, nilai tukar petani turun 0,09 persen, dari 105,19 ke 105,10.
Dari 32 provinsi yang dihitung nilai tukar petaninya, 12 provinsi mengalami kenaikan, sementara 20 sisanya justru menurun. Bulan lalu, Gorontalo tercatat sebagai provinsi yang mengalami kenaikan nilai tukar petani paling tinggi, yakni 0,90 persen. Sebaliknya, di titik terendah, Jambi mengalami penurunan nilai tukar petani sebesar 0,84 persen.
Bulan lalu, BPS juga mencatat deflasi di pedesaan Indonesia sebesar 0,02 persen. "(Deflasi) terutama disebabkan turunnya indeks kelompok pangan," kata Suryamin.
PINGIT ARIA