TEMPO.CO, Jakarta - Masih tingginya permintaan dolar di pasar uang membuat rupiah kesulitan untuk melepaskan diri dari tekanan. Di transaksi pasar uang hari ini, rupiah tetap di posisinya di level 9.650 per dolar Amerika. Rupiah bergerak cukup liar di kisaran 9.700 per dolar sepanjang perdagangan, sebelum akhirnya intervensi Bank Indonesia menggiring rupiah kembali ke levelnya semula.
Pengamat pasar uang, Lindawati Susanto, mengatakan minimnya katalis positif di pasar uang serta masih defisitnya neraca perdagangan Indonesia membuat apresiasi rupiah terhambat. “Tingginya impor membuat dolar menjadi mata uang yang paling banyak diburu sehingga nilai tukarnya menguat.”
Di pasar valas, jumlah dolar yang dibutuhkan pelaku pasar jauh lebih tinggi dibandingkan dengan suplainya, sehingga terjadi kelangkaan dolar. Kondisi ini diperparah dengan adanya pelaku pasar yang telah membeli rupiah dalam jumlah besar di akhir tahun lalu namun saat ini belum terpakai.
Kebutuhan futures ditarik ke present. Imbasnya, nilai tukar rupiah semakin menyusut. Inilah yang kemudian membuat Bank Indonesia selalu masuk ke pasar uang guna menjaga kestabilan rupiah.
Valuasi rupiah saat ini sudah tidak sesuai dengan nilai fundamentalnya. Menurut Lindawati, jika melihat indikator ekonomi, seharusnya rupiah bisa menguat di awal tahun. Ekonomi masih tumbuh di atas 6 persen, inflasi terjaga, dan neraca pembayaran dan cadangan devisa masih positif. “Semua terkelola dengan baik, kecuali masalah defisit neraca perdagangan.”
Inilah yang membuat rupiah kerap berlawanan arah dengan mata uang berisiko lainnya. Ketika euro menguat ke level US$ 1,33 dan mata uang Asia resisten terhadap dolar, rupiah justru melemah.
Dari regional, dolar Singapura ditransaksikan di 1,2234 per dolar AS, dolar Hong Kong 7,7526 per dolar AS, won 1.058,11 per dolar AS. Kemudian, yuan 6,2153 per dolar AS, dan ringgit 3,015 per dolar AS.
M. AZHAR | PDAT