TEMPO.CO, Jakarta - Masih defisitnya neraca perdagangan serta pelaku pasar yang masih gencar memburu dolar menjadi penyebab depresiasi rupiah. Di transaksi pasar uang hari ini, nilai tukar rupiah turun 4 poin (0,04 persen) ke level 9.655 per dolar.
Pengamat pasar uang dari Bank Saudara, Rully Nova, mengatakan, pelemahan rupiah disebabkan kondisi neraca perdagangan yang masih defisit. "Ini yang menyebabkan rupiah masih sulit untuk menguat walaupun sentimen global cenderung membaik."
Nilai tukar rupiah semakin tidak berharga karena di pasar non-delverable forward (NDF) sempat menyentuh kisaran 9.870 per dolar.
Kondisi defisit neraca perdagangan mendorong penguatan nilai tukar dolar karena tingginya impor membutuhkan likuiditas dolar dalam jumlah besar. "Padahal ketersediaan dolar di pasar domestik terbatas karena investor masih enggan menjual dolar," Rully melanjutkan.
Defisit neraca perdagangan yang terjadi sepanjang tahun lalu menjadikan rupiah mata uang yang memiliki volatilitas paling tinggi di antara mata uang Asia lainnya. Hal ini kemudian membuat Bank Indonesia secara rutin melakukan intervensi untuk menstabilkan rupiah.
Menurut Rully, tekanan terhadap rupiah masih akan berlangsung hingga akhir pekan seiring meningkatnya kebutuhan dolar importir. Selain itu, rupiah juga masih menunggu data-data terkini pemulihan ekonomi, khususnya di Amerika Serikat dan Cina.
Dari regional, hingga 16.30 WIB, dolar Singapura ditransaksikan di 1,2246 per dolar AS, dolar Hong Kong 7,7526 per dolar AS, dan won 1.058,73 per dolar AS. Kemudian yuan 6,2184 per dolar AS, dan ringgit 3,019 per dolar AS.
M. AZHAR | PDAT