TEMPO.CO , Jakarta: Didirikan pemerintah pada 16 Juli 2002, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) memegang kewenangan sebagai pembina dan pengawas Kontraktor Kontrak Kerja Sama dalam menjalankan eksplorasi, eksploitasi, serta pemasaran minyak dan gas Indonesia. Pembentukan lembaga itu menyusul terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Posisinya melakukan fungsi yang sebelumnya dijalankan Pertamina, sesuai dengan aturan lama, yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971.
Sesuai dengan undang-undang baru itu, Pertamina beralih menjadi PT Pertamina (Persero). Mereka harus pula melepaskan peran gandanya sebagai pelaku sekaligus regulator dalam bisnis minyak dan gas, yang dianggap sebagai biang maraknya korupsi dan obral konsesi ladang-ladang minyak di perusahaan itu.
Peran regulator dan pengawas di sektor hulu diserahkan kepada BP Migas. Adapun fungsi pengelolaan di hilir dimainkan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), yang dibentuk pada 2004.
Pengalihan kewenangan itu tak diterima begitu saja. Tak lama setelah itu, sejumlah lembaga dan perorangan berhimpun dan melayangkan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001. Majalah Tempo dalam edisi Senin, 19 November 2012 menyebutkan siapa-siapa saja para penggugat itu dalam laporan utamanya BP Migas Wassalam.
Salah satu penggugat adalah Serikat Pekerja Pertamina, yang menuding beleid baru itu lebih berpihak pada kepentingan asing dan tak prorakyat. Mereka menyoroti banyaknya ladang minyak yang dikuasai perusahaan asing dan penjualan jatah minyak pemerintah yang tak selalu jatuh ke tangan Pertamina.
Gugatan itu mentok. Para hakim Mahkamah Konstitusi, yang ketika itu dipimpin Jimly Asshiddiqie, menolak permohonan kelompok tersebut melalui sidang pada Selasa, 21 Desember 2004. Tapi gerilya untuk menolak sistem baru pengelolaan kekayaan alam ini tak berhenti.
Permohonan serupa kembali diajukan tahun ini oleh 12 organisasi kemasyarakatan, yang kebanyakan berbasis Islam. Mereka maju bersama 30 perorangan, seperti Hasyim Muzadi, Komaruddin Hidayat, Marwan Batubara, Fahmi Idris, Salahuddin Wahid, Laode Ida, Henry Yosodiningrat, dan A.M. Fatwa. Ada pula organisasi Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan Karyawan di antara para pemohon.
Mereka menilai Undang-Undang Migas membuka liberalisasi karena sangat dipengaruhi pihak asing, juga penuh dengan praktek korupsi yang merugikan negara berpuluh triliun rupiah. Modusnya beragam, mulai manipulasi klaim cost recovery oleh para kontraktor minyak dan gas, selisih penghitungan rupa-rupa pajak, hingga praktek suap di balik penunjukan agen penjualan gas.
Gugatan kedua ini menuai hasil. Sembilan hakim konstitusi yang dipimpin Moh. Mahfud Md. mengabulkan permohonan. Hanya hakim konstitusi Harjono yang menyatakan berbeda pendapat, karena menganggap para pemohon tak punya posisi legal yang jelas).
Dia juga tak setuju dengan logika dan dalil-dalil yang digunakan untuk menyatakan bahwa keberadaan BP Migas bertentangan dengan konstitusi, dan karena itu harus dibubarkan. Kerugian akibat korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan seperti ditudingkan para pemohon kepada BP Migas belum dibuktikan.
“Hal yang sangat keliru ialah putusan berdasarkan adanya frasa 'yang berpotensi melanggar konstitusi pun bisa diputus oleh Mahkamah sebagai perkara konstitusionalitas'."
Raden Priyono juga mengaku tak habis mengerti terhadap putusan terbaru Mahkamah Konstitusi itu. “Katanya MK hanya bisa sekali menguji undang-undang. Kenapa atas Undang-Undang Minyak dan Gas ini bisa berulang?” kata Ketua BP Migas yang menggantikan Kardaya sejak 2008 itu berkeluh kesah saat ditemui Rabu pekan lalu.
Y. Tomi Aryanto, Jobpie S., Agoeng W., Bernadette Christina, Rosalina, Aryani K.
Berita Terkait:
Pembubaran BP Migas, Penerimaan Negara Terhambat?
Pasca Likuidasi, Stiker BP Migas Dicopoti
Dua Opsi Gantikan BP Migas
BPK Minta BP Migas Segera Susun Laporan Keuangan