TEMPO.CO, Surakarta - Tanaman teh dianggap bukan komoditas yang menguntungkan. Akibatnya, banyak petani teh mengubah lahan tehnya menjadi pertanian sayur atau perkebunan kelapa sawit dan karet.
Ketua Dewan Teh Indonesia Rachmat Badruddin mengatakan, setiap tahun, 3.000 hektare lahan teh beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet. “Ini sudah terjadi sejak sepuluh tahun terakhir. Berarti ada 30 ribu lahan teh yang hilang,” ujarnya, saat membuka Festival Teh Internasional di Surakarta, Jumat, 12 Oktober 2012.
Kini, yang tersisa tinggal 120 ribu hektare perkebunan teh milik pemerintah, swasta, dan rakyat. Produksi yang dihasilkan sekitar 130 ribu ton per tahun. Kondisi itu membuat Indonesia berada di posisi ketujuh produsen teh dunia di bawah Vietnam dan Turki. Padahal, sebelumnya, selalu menduduki deretan lima besar.
Minimnya produksi membuat banyak teh impor masuk ke Indonesia. Tidak hanya kemasan atau teh jadi, tapi juga dalam bentuk bahan baku. Agar Indonesia kembali berjaya sebagai produsen teh, menurut Rachmat, lahan teh harus diperluas. “Kami memiliki program gerakan penyelamatan agrobisnis teh nasional. Kami membuka lahan perkebunan teh baru,” katanya.
Selama 1,5 tahun terakhir, Rachmat membuka lahan teh di Kabupaten Bandung, Majalengka, dan Cianjur, dengan total luas 800 hektare serta melibatkan seribu petani teh setempat. Dananya berasal dari bantuan FAO, organisasi pangan, dan pertanian PBB, sebesar US$ 1,2 juta.
Baca Juga:
Ahli teh dari India, Swaraj Kumar Rajah Banarjee, mengatakan, industri teh di Indonesia belum digarap maksimal. Menurut dia, kualitas teh Indonesia kalah oleh teh negara lain. “Teh Indonesia baru sebatas pelengkap, belum menjadi bahan baku utama,” katanya. Pada dasarnya, kata dia, tanaman teh di berbagai belahan dunia sama. Yang membedakan adalah cara meracik, mengemas, dan menggarap promosinya.
UKKY PRIMARTANTYO