TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah ditantang segera memperbaiki kebijakan bahan bakar minyak (BBM) seiring dengan meningkatnya impor minyak yang memicu defisit neraca perdagangan Indonesia. Badan Pusat Statistik sebelumnya melaporkan defisit perdagangan di semester I 2012 sebesar US$ 1,3 miliar. Perdagangan minyak dan gas menjadi penyumbang utama defisit.
Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Anthonius Tony Prasetiantono, mengatakan, pemerintah harus tegas menekan lonjakan konsumsi BBM bersubsidi di dalam negeri. Bukan sekadar melalui imbauan, tapi harus dengan menaikkan harga. "Sekarang, apakah Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah berani mengoreksi Undang-Undang APBNP 2012 atau masih mau menunggu sebulan lagi sebelum mengambil tindakan?" ujar Tony kepada Tempo, Rabu, 1 Agustus 2012.
Tony menjelaskan, selama ini Indonesia mengekspor minyak berkualitas terbaik dan mengimpor minyak dengan kualitas kurang baik untuk konsumsi BBM bersubsidi di dalam negeri. Impor membesar seiring dengan konsumsi BBM bersubsidi yang melebihi kuota.
Menurut dia, konsumsi harus dikendalikan untuk mencegah defisit perdagangan semakin parah. "Jika defisit perdagangan dikarenakan impor minyak, maka kondisi defisit akan bertahan sepanjang tahun, sampai ada kebijakan kenaikan harga," ucapnya.
Upaya menggenjot produksi minyak dalam negeri bisa jadi solusi meski sulit terealisasi. "Untuk menaikkan beberapa puluh ribu barel saja sulit," kata Tony.
Ia mengaku terkejut dengan besarnya nilai defisit perdagangan Juni 2012. "Tahun 2010-2011, surplus neraca perdagangan tahunan US$ 22-23 miliar atau sekitar US$ 2 miliar per bulan," ujarnya. Jika mengacu pada penghitungan ini, maka pada Juni 2012 ada minus sekitar US$ 3,3 miliar.
Defisit perdagangan bisa dimaklumi jika terjadi karena pergerakan impor barang modal. "Sejauh itu impor barang modal, masih tidak terlalu cemas, karena ini untuk meningkatkan produksi di dalam negeri," ucapnya. Berbeda halnya jika defisit didorong impor minyak.
Tony menjelaskan, persoalan defisit perdagangan tak bisa diselesaikan dengan menggenjot ekspor. Pelemahan ekspor adalah fenomena di seluruh dunia karena permintaan pasar yang melemah. Selain itu, ekspor bahan mentah Indonesia juga sudah optimal. "Yang mungkin bisa didorong sektor manufaktur, tapi tingkat persaingannya juga tinggi," ujarnya.
Ia menghargai langkah pemerintah membuka daerah tujuan ekspor yang baru. Namun, memulai bisnis di wilayah yang baru tidaklah mudah. Pengusaha Indonesia juga harus berkompetisi dengan negara lainnya. Afrika, misalnya, tak hanya menjadi target pasar pengusaha Indonesia, tetapi juga pengusaha dari negara lain, seperti dari Eropa.
MARTHA THERTINA