TEMPO.CO, Jakarta - Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi semakin jauh dari kenyataan. Namun kondisi ini justru membuat pusing Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Evita Herawati Legowo.
"Pusing kami karena APBN harus sehat. Padahal APBN-nya berdasarkan naik harga. Jadi sudah kacau-balau," kata Evita dalam pembukaan Rakernas Asosiasi Pengusaha CNG Indonesia di Jakarta, Kamis, 31 Mei 2012.
APBN 2012 disusun dengan asumsi harga BBM bersubsidi dinaikkan Rp 1.500 per liter. Namun rencana ini ditolak Dewan Perwakilan Rakyat dalam sidang paripurna akhir Maret 2012.
Akhir Maret lalu DPR mensyaratkan harga BBM bersubsidi boleh naik jika rata-rata harga minyak bumi US$ 120,75 per barel. Namun hingga 28 Mei 2012, Evita mengatakan rata-rata harga baru US$ 119,35 per barrel dan cenderung bergerak turun.
Evita mengatakan masih ada peluang penyehatan anggaran negara dengan penghematan. Karena itu, ia mengimbau masyarakat tak lagi menggunakan BBM bersubsidi. "Mari kita gunakan gas.”
Saat ini Indonesia dinilai masih sangat boros energi. Hal ini tercermin dari intensitas energi di Indonesia masih 1,4, sedangkan di negara maju seperti Jerman intensitas energi 0,01 dan Jepang 0,1. "Ini adalah perbandingan energi yang dipakai dengan pendapatan yang diperoleh. Kita bukan negara yang bagus," kata Evita.
Konversi BBM ke BBG adalah salah satu dari lima langkah penghematan energi yang diinstruksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 29 Mei 2012. Kebijakan lainnya adalah pengawasan penyaluran BBM dengan teknologi informasi, larangan BBM bersubsidi untuk kendaraan instansi pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Selanjutnya adalah larangan konsumsi BBM bersubsidi oleh angkutan pertambangan dan perkebunan serta penghematan energi listrik dan air.
BERNADETTE CHRISTINA