TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia mencatat sedikitnya 100 eksportir besar menaruh dana pendapatan ekspornya di luar negeri. Dari jumlah itu, 22 diantaranya berasal dari sektor sumber daya alam, seperti minyak, gas, dan tambang. Mereka melakukan itu lantaran masih terikat perjanjian dengan bank di negara lain.
"Nilainya US$ 2 miliar per bulan," ujar Direktur Eksekutif Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Hendy Sulistiowaty, Rabu 25 April 2012.
Tahun lalu Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/20/PBI/2011. Dalam aturan tersebut, bank sentral mewajibkan eksportir di Indonesia memarkir hasil ekspor mereka ke Indonesia mulai Januari 2012.
BI mewajibkan eksportir menyampaikan perincian transaksi ekspor (RTE) kepada bank devisa. Perincian ini nantinya disampaikan bank ke BI. Laporan RTE ini melaporkan semua pemberitahuan ekspor barang (PEB) dan devisa hasil ekspor yang telah diterima di Indonesia.
Hasil devisa 2012 wajib diterima melalui bank devisa dalam negeri paling lama enam bulan setelah tanggal PEB. Mulai 2013, batas penerimaan devisa dipercepat menjadi tiga bulan setelah PEB. BI memberikan masa transisi hingga akhir 2012 untuk eksportir yang masih terikat perjanjian dengan bank di luar negeri.
Hendy menjelaskan, menurut statistik, ada uang yang sangat besar dari hasil devisa ekspor yang tak pernah diparkir atau hanya lewat di Indonesia. "Dikeruk dari Indonesia, tapi hasilnya hanya lewat saja, bahkan lewat saja tidak pernah. Melalui peraturan ini, kami berharap uangnya paling tidak bisa lewat (tercatat)," ujarnya.
Aturan itu, kata dia, tidak mengharuskan eksportir menahan dananya di Indonesia atau mengkonversi ke dalam mata uang rupiah. BI berharap, dengan ketentuan ini, eksportir tak takut memarkir dananya di dalam negeri.
MARTHA THERTINA