TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Pemeringkat Internasional Standard and Poor’s (S&P) memutuskan menahan peringkat utang Indonesia pada level 'BB+' untuk utang jangka panjang dan 'B' untuk jangka pendek dengan outlook positif.
Dalam keterangan persnya, S&P mengemukakan sejumlah penghambat dalam perekonomian Indonesia diantaranya pendapatan per kapita yang rendah, hambatan struktural dan institusional dalam memacu pertumbuhan ekonomi naik, utang luar negeri sektor swasta yang masih tinggi, dan pasar keuangan domestik yang dangkal.
S&P juga menyoroti ketidakpastian kebijakan seperti penangguhan kenaikan tarif listrik dan ketidakmampuan Pemerintah memangkas subsidi BBM di tengah kenaikan harga minyak dunia. Selain itu, S&P memberi catatan pada sejumlah usulan kebijakan di bidang industri dan perdagangan.
Meski begitu, S&P menyatakan bahwa kelemahan yang terdapat pada kondisi ekonomi dan institusional dapat diimbangi oleh kondisi fiskal, eksternal dan moneter yang cukup kuat.
Analis utama S&P untuk Indonesia, Agost Bernard menyebut beberapa hal yang mendukung peringkat Indonesia saat ini antara lain rendahnya defisit anggaran pemerintah, penurunan beban utang sektor publik, likuiditas eksternal yang menguat dan kinerja ekonomi yang tangguh.
S&P menjelaskan, outlook positif tetap diberikan S&P mencerminkan kemungkinan upgrade apabila pertumbuhan ekonomi terus meningkat, pasar keuangan semakin dalam, dan penerapan kebijakan yang terukur.
Menanggapi kabar dari S&P, Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution mengungkapkan, pihaknya memastikan ekonomi Indonesia bergerak di jalur yang tepat dan akan tumbuh lebih baik lagi. "Stabilitas ekonomi makro dan sistem keuangan yang terjaga dengan baik dan ekonomi domestik tumbuh semakin cepat didukung oleh struktur ekonomi yang makin berimbang, memungkinkan penyerapan tenaga kerja dalam jumlah yang besar,” ujarnya melalui siaran persnya, Senin, 23 april 2012.
Darmin mengungkapkan, di sisi eksternal, saat ini, kinerja neraca pembayaran Indonesia masih berada pada posisi yang sehat dengan defisit yang relatif terkendali. Selain itu, peningkatan arus masuk FDI juga terpantau stabil. Rasio total utang luar negeri terhadap PDB juga dalam tren yang menurun dan berada pada posisi 26.5 persen pada akhir tahun 2011.
Menanggapi analisis S&P tentang utang luar negeri sektor swasta, Bank Indonesia berpandangan hal itu tidak menjadi ancaman serius karena 36 persen utang tersebut berasal dari perusahaan induk dan afiliasinya.
Tentang kendala pada masalah struktural yang juga disoroti S&P, Darmin menjelaskan saat ini proses perbaikan sedang berlangsung. Bank Indonesia dan Pemerintah akan melakukan berbagai langkah untuk memitigasi potensi risiko dari sektor internal maupun eksternal.
MARTHA THERTINA