TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Anggito Abimanyu mengusulkan kenaikan harga BBM bersubsidi Rp 1.000 per liter. Kenaikan Rp 1.500 per liter yang diusulkan pemerintah dinilai tak wajar.
Kenaikan Rp 1.000 per liter tak akan menambah jumlah warga miskin dibanding apabila kenaikan dipaksakan Rp 1.500 per liter. “Karena orang miskin memakai minyak tanah yang harganya tidak dinaikkan,” kata Anggito di Kantor Kementerian Keuangan, Selasa, 20 Maret 2012.
Dari hitungannya, kenaikan harga bensin Rp 1.000 hanya mengerek inflasi 2 persen. Besaran ini, menurut dia, lebih rendah ketimbang prediksi pemerintah sebesar 2,23 persen.
“Inflasi 2 persen tidak menghambat ekspansi,” katanya. Kenaikan Rp 1.000 atau 22 persen, Anggito menambahkan, tidak akan merusak daya beli masyarakat terlampau parah karena kenaikannya di bawah kenaikan pendapatan per kapita yang mencapai 25 persen.
Meskipun demikian, ia tetap mengusulkan adanya pemberian kompensasi berupa bantuan tunai langsung (BLT). Namun besaran yang diusulkan Anggito hanya Rp 10 triliun untuk 18,5 juta keluarga miskin. Jumlah tersebut lebih kecil ketimbang usulan pemerintah Rp 25,6 triliun.
Anggito menilai kompensasi harus diutamakan untuk pembangunan infrastruktur bahan bakar gas dan angkutan umum. Besaran yang diusulkan pengajar Universitas Gadjah Mada itu sebesar Rp 15 triliun lebih tinggi ketimbang usulan pemerintah sebesar Rp 5 triliun.
Tujuan kenaikan harga BBM, menurut dia, tidak sekadar menghemat anggaran dan mengurangi defisit. “Konsumsi BBM juga akan berkurang 0,2 persen,” ujarnya.
Konsumsi BBM tahun lalu mencapai 41,9 miliar liter lebih tinggi dari kuota pemerintah sebesar 40,4 miliar liter. Pada APBN 2012, konsumsi ditetapkan 40 miliar liter. Namun, sekitar 2,5 miliar liter diminta Dewan Perwakilan Rakyat untuk dihemat.
AKBAR TRI KURNIAWAN