TEMPO.CO, Jakarta- Pusat penelitian Himpunan Pengusaha Muda (Hipmi) menyebutkan, 25 persen pendapatan perusahaan angkutan darat dikeluarkan untuk membayar pungutan liar (pungli). Setiap tahun, perusahaan-perusahaan tersebut mengeluarkan lebih dari Rp 25 triliun untuk pungli, mulai dari pengurusan administrasi kendaraan hingga tarif gelap yang dikenakan pada supir di tengah jalan.
Menurut Sekretaris Jenderal Hipmi, Harry Warganegara Harun, penelitian mengenai pungli ini didasarkan atas keprihatinan Hipmi atas pajak liar yang marak di jalanan. Penelitian ini dilakukan pada ratusan perusahaan angkutan di berbagai daerah.
Lebih jauh, penelitian ini menyatakan pungli menjadi salah satu pemicu kecelakaan. Sebabnya, biaya pungli yang tinggi mengurangi biaya perawatan armada. "Biaya penggantian kampas rem atau ban, misalnya, terpaksa digadaikan untuk membayar pungli," kata dia kepada Tempo, Selasa 14 Februari 2012.
Selain menjadi beban pengusaha, biaya pungli juga membebani sopir. Harry menjelaskan seringkali sopir bekerja lebih keras dan mengorbankan jam istirahat karena setoran mereka berkurang dimakan pungutan gekap. "Kondisi fisik yang tidak fit menyebabkan kecelakaan." ujarnya.
Karena itu Harry meminta pemerintah menindak tegas oknum yang kedapatan melakukan pungli. Ia juga mengusulkan gaji yang lebih tinggi bagi aparat pemerintah supaya mereka tidak melakukan pungli.
Keluhan atas pungli juga diutarakan Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta. Ketua Organda Jakarta, Sudirman mencontohkan, hal ini terjadi pada uji kir. Biaya uji yang seharusnya hanya Rp 140 ribu per mobil bisa membengkak hingga dua kali lipat. "Ini jelas pungli yang dilakukan otoritas penguji." katanya.
Menanggapi hal ini, Menteri Perhubungan, Ernest Everest Mangindaan meminta pengusaha transportasi untuk menginformasikan lokasi, pelaku, hingga waktu terjadinya pungli. “Hal itu pasti diberantas. Tak perlu ditanya lagi,” katanya.
GADI MAKITAN | M KURNIAWAN