TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah menilai hingga saat ini struktur industri Indonesia masih lemah. "Struktur industri dari hulu ke hilir masih lemah, belum lengkap dan banyak yang bolong," ujar Direktur Industri, Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Badan Usaha, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Mesdin Simarmata, Rabu 2 November 2011.
Belum lengkapnya struktur industri tersebut terlihat di industri baja dalam negeri. "Satu sisi kita memiliki industri bauksit dan ekspor di hulu namun ternyata di hilir kita masih impor alumina, karena kita belum bisa mengolah bauksit menjadi alumina," katanya.
Begitu juga dengan biji besi yang ekspor terus meningkat dari tahun ke tahun, namun industri baja dalam negeri justru masih impor pellet sebagai bahan baku industri baja karena saat ini masih belum ada industri pengolah biji besi menjadi pellet.
Akibat kondisi tersebut, menurut Mesdin, meskipun industri manufaktur Indonesia tumbuh baik namun tingkat ketergantungan impor bahan baku juga tetap masih tinggi. "Pertumbuhan industri di atas 6 persen itu adalah kabar baik, namun kabar buruknya sebagian besar bahan baku kita masih tergantung pada impor," ujarnya.
Untuk itu langkah percepatan pembenahan struktur industri mendesak untuk diperbaiki. "Mungkin juga perlu ada kajian mendalam, apakah pemerintah perlu melakukan investasi langsung untuk menambal struktur yang bolong-bolong itu.”
Hal senada juga diungkapkan oleh Sekretaris Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian Setio Hartono. Menurut dia, saat ini industri tambang belum terintegrasi dengan industri pengolahan logam hulu, antara dan hilir. Begitu juga dengan industri migas dengan industri kimia hulu, industri kimia antara, dan industri kimia hilir.
Bahkan industri juga sering kali dihadapkan pada dilema pasokan bahan baku karena untuk memperoleh bahan baku tertentu industri dalam negeri harus mengimpor. Padahal bahan baku tersebut bisa diproduksi di dalam negeri namun diperuntukkan untuk ekspor.
Seperti persoalan pasokan naptha dan kondesat yang merupakan bahan baku industri kimia hulu yang saat ini sepenuhnya tergantung pada impor. "Namun di sisi lain justru industri migas nasional mengekspor naptha dan kondesat, ini dilema," katanya.
Kepala Badan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Bambang Brodjonegoro mengatakan pemerintah telah menyiapkan sejumlah langkah untuk memancing masuknya investasi pada sejumlah sektor strategis dan pioneer yang diharapkan bisa memperbaiki struktur industri. Gula-gula yang diberikan pemerintah tersebut berupa sejumlah kebijakan insentif fiskal baik yang berupa insentif fiskal pajak penghasilan, insentif fiskal pajak pertambahan nilai, dan insentif fiskal untuk Kepabeanan.
Meskipun begitu, insentif fiskal yang diberikan pemerintah bukan faktor utama yang bisa memancing investor untuk masuk. Faktor utama yang menjadi penentu adalah ketersediaan infrastruktur yang memadai, ketersediaan tenaga kerja yang terampil dan persoalan lahan.
"Bagi kondisi Indonesia saat ini, justru insentif akan dilihat sebagai faktor kesekian, ada persoalan lain yang lebih menjadi perhatian investor yaitu infrastruktur, tenaga kerja dan pertanahan. Itu yang harus secepatnya kita selesaikan," kata Bambang.
AGUNG SEDAYU