TEMPO Interaktif, Jakarta - Kalangan pemerhati pertanian mendesak pemerintah segera menyempurnakan metodologi penghitungan produksi dan ketersediaan pangan. Pembangunan ketahanan pangan tidak akan tercapai bila masih mengandalkan metodologi penghitungan saat ini.
"Metodologi penghitungan produksi dan ketersediaan pangan wajib disempurnakan, tanpa harus mencari-cari kesalahan kebijakan terdahulu," kata guru besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis, 22 September 2011.
Indonesia masih mengacu data Badan Pusat Statistik soal ketersediaan pangan. BPS merilis estimasi produksi padi sebesar 68 ton gabah kering giling atau setara 39 juta ton beras. Jika asumsi konsumsi 139,15 kilogram per kapita per tahun, total konsumsi 237,6 juta penduduk seharusnya 33 juta ton.
Jika memang perhitungan data produksi pangan tersebut benar, semestinya Indonesia memiliki surplus beras sebanyak 6 juta ton, sehingga pemerintah tidak perlu mengimpor beras. “Faktanya Indonesia impor beras dalam jumlah besar," ujar Bustanul.
Metode penghitungan semacam itu, ironisnya, juga terjadi pada hampir seluruh komoditas seperti jagung, kedelai, dan gula. Produksi jagung 18,3 juta ton pipilan kering. Jika industri pakan ternak menyerap 6 juta ton, dan konsumsi masyarakat 12 juta ton, estimasi produksi seharusnya surplus. Namun faktanya lagi-lagi industri pakan harus mengimpor jagung 1 juta ton.
Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan ada keterkaitan antara impor dan ketersediaan beras dalam negeri. Jika Bulog menyediakan beras dan dari dalam negeri tak mendapat beras, artinya ada persoalan. “Kata kuncinya pada besaran produksi," katanya.
Bustanul menyarankan tahun depan Kementerian Pertanian harus membuat rancangan peningkatan produksi secara terperinci. Seperti menyepakati kembali kemampuan tiap sentra produksi beras dalam mencapai target produksi, termasuk menetapkan serapan beras tiap daerah.
Rancangan perbaikan juga menyangkut ketersediaan anggaran. Jika semua syarat terpenuhi, tapi daerah tetap tak bisa menghasilkan produksi sesuai dengan perencanaan, pemerintah pusat harus memberi sanksi. "Misalnya tahun berikutnya tak ada anggaran," ujar Sutarto.
ROSALINA