TEMPO Interaktif, Jakarta - Masa depan kerajinan batik tulis terancam. Di Yogyakarta generasi perajin warisan budaya Indonesia ini lambat laun mulai berkurang. Hal itu karena mayoritas perajin batik tulis andal adalah generasi 60-an dan 70-an yang merupakan periode booming batik masa lampau.
Sementara generasi yang lebih muda menilai profesi sebagai perajin batik kurang menjanjikan. “Pendapatannya kecil, rata-rata malah terjebak sistem ijon,” kata Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) DIY, Jadin C Djamaludin, kepada Tempo, Selasa 20 Oktober 2011 di Yogyakarta.
Jadin mendesak pemerintah segera mengeluarkan regulasi yang memberi perlindungan kepada perajin batik tulis. Regulasi itu harus bisa mengangkat status mereka dari sekadar buruh penggarap menjadi seniman batik. “Regulasi itu juga perlu memecahkan masalah kesenjangan pendapatan antara perajin dan pedagang,” kata dia.
Jadin menyarankan pemerintah perlu membuat regulasi perlindungan yang menetapkan adanya standardisasi khusus terhadap kualitas batik tulis. Standardisasi mencakup penetapan metode standar pembuatan batik tulis khas Jawa dan mencantumkan nama perajin di karya mereka. Karena itu definisi batik versi UNESCO yang menegaskannya sebagai hak kekayaan budaya Indonesia perlu dipertegas. “Definisinya yaitu motif di kain berbahan kapas yang dibuat memakai alat canting dan memanfaatkan lilin untuk mengikat warna serta memiliki pakem tertentu (batik cap dan tulis),” ujarnya.
Perajin batik tulis juga perlu mendapat insentif pendapatan dengan cara pemerintah membeli karya mereka dan memasarkannya ke pasar luar negeri. “Perajin batik tulis itu seniman yang harus diberdayakan agar regenerasinya tak mandek. Indonesia punya 200 pasar ekspor tekstil, tapi mereka tak tahu peluang itu, sehingga terjebak pada logika pasar yang menguntungkan pemilik modal besar,” ujarnya.
Kepala seksi sertifikasi mutu dan produk Balai Besar Kerajinan dan Batik, Cipto, membenarkan pentingnya penetapan regulasi yang mewajibkan standardisasi produk batik tulis. Selama ini kampanye pentingnya sertifikasi Mark dan SNI (Satandard Nasional Indonesia) pada produk batik yang dilakukan lembaganya kurang mendapat sambutan. Baru 75 pengusaha perajin batik tulis yang menerima sertifikasi Mark (tanda produknya benar-benar batik tulis) dan hanya dua yang ber-SNI (kualitas manajemen produksinya telah mengikuti standar).
Menurutnya sertifikasi ini penting guna menjaga simpang-siurnya jenis batik tulis yang sekarang beredar di pasaran. Kata dia, kondisi perajin yang bermasalah dalam soal keuangan menyebabkan berkembangnya jenis pembuatan batik tulis dan cap menjadi delapan. Ada batik tulis, batik cap, batik kombinasi cap dan tulis, batik printing tulis, batik printing cap, batik cabut warna tulis, batik cabut warna cap, dan batik printing lilin. “Ongkos produksi batik tulis paling mahal, tapi semuanya bisa diklaim jadi batik tulis di depan konsumen yang tak tahu batik,” ujarnya.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM