TEMPO Interaktif, Jakarta - Petani kelapa sawit mengusulkan sejumlah program untuk memanfaatkan bea keluar semaksimal mungkin. Salah satunya, program peremajaan tanaman sawit seluas 1 juta hektare dengan kebutuhan dana Rp 28 juta per hektare.
“Sebenarnya lahan petani ada 3,8 juta hektare, tapi kami minta tahap pertama untuk 1 hektare dulu," ujar Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Asmar Arsyad ketika dihubungi, Kamis, 8 September 2011.
Dana tersebut cukup untuk penyediaan bibit baru hingga perawatan tanaman sampai tiga tahun pertama. Setelah itu, produktivitas tanaman bisa mencapai 35 ton per hektare per tahun dengan rendemen minyak sawit 26 persen.
Bea keluar sawit juga bisa ditujukan untuk membantu sertifikasi lahan petani. "Sebab, petani yang tidak punya sertifikat lahan kesulitan mengajukan kredit," ujarnya. Program ini sudah disampaikan kepada Kementerian Pertanian dan Badan Pertanahan Nasional.
Pemanfaatan bea keluar lainnya adalah dengan perbaikan infrastruktur dengan membangun jalan kecamatan yang menghubungkan kebun dengan pasar atau pelabuhan. "Program perluasan lahan dan pelatihan petani juga bisa memanfaatkan dana dari hasil pemanfaatan bea keluar," kata Asmar.
Bea keluar sejak 2008 yang mencapai Rp 50 triliun dinilai pasti cukup untuk program-program yang dibutuhkan untuk memperbaiki pertanian dan industri kelapa sawit.
Beberapa waktu lalu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia meminta pemerintah merevisi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK011/2011 tentang penetapan barang ekspor yang dikenai bea keluar dan tarif bea keluar. Beleid yang juga mengatur pajak ekspor sawit ini dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi.
Namun Menteri Keuangan Agus Martowardojo berkukuh tidak akan mengubah kebijakan tersebut. Senada sepenarian, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Deddy Saleh, malah menyarankan pengusaha mengusulkan program-program kepada pemerintah agar dana yang diperoleh dari bea keluar bisa dipakai untuk bantu petani.
"Itu lebih baik daripada mempermasalahkan besaran bea keluar," kata Deddy.
Lebih lanjut Asmar menyatakan, petani sebenarnya juga tidak setuju dengan aturan baru bea keluar yang bersifat progresif. “Kami ingin perhitungan bea keluar seragam dengan besaran 15 persen.”
Bea keluar yang ditetapkan secara progresif dinilai akan merugikan petani karena eksportir pasti tetap saja akan membebankan pajak kepada petani dengan mengurangi nilai pembelian tandan buah segar (TBS). "Setiap bea keluar naik 1 persen, harga TBS turun 0,14 persen dalam nilai dolar per ton," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian M.S. Hidayat menilai aturan lama yang memberlakukan penyamaan bea keluar pada produk hulu dan hilir CPO membuat investor enggan masuk di industri hilir CPO. Walhasil, utilisasi industri hilir kelapa sawit juga ikut rendah.
"Minyak goreng hanya 44 persen, biodiesel hanya 10 persen," katanya. Akibatnya, volume ekspor CPO dalam bentuk mentah masih tinggi. Dengan adanya aturan baru itu, investor diharapkan lebih terpacu untuk masuk di industri hilir CPO.
EKA UTAMI APRILIA