TEMPO Interaktif, Jakarta - Bank Mutiara--dulu Bank Century--menyatakan akan menggenjot ekuitas untuk menaikkan valuasi bank. "Pada umumnya nilai penjualan diambil dari price book value. Price book value dilihat dari ekuitas," ujar Direktur Utama Bank Mutiara Maryono saat berbuka puasa dengan sejumlah wartawan di Restoran Samudra, Selasa, 9 Agustus 2011 malam.
Per semester I-2011, nilai ekuitas bank mencapai Rp 930 miliar sehingga melambungkan aset sampai Rp 12,5 triliun. Ekuitas ini rencananya akan digenjot hingga Rp 2-2,5 triliun pada dua tahun ke depan. Jadi, bisa mendorong pertumbuhan aset sampai Rp 20-25 triliun pada tiga tahun ke depan.
Sayangnya, kata Maryono, Bank Mutiara belum menghitung berapa ekuitas yang dibutuhkan untuk mendekati angka penjualan bank sebesar Rp 6,7 triliun dan berapa price book value bank saat ini. Maryono melanjutkan, untuk menggenjot ekuitas, bisa melalui dua jalur, yakni percepatan recovery aset dan pengembangan core bussines atau bisnis inti.
Direktur Treasury dan International Banking Bank Mutiara Ahmad Fajar menjelaskan bahwa per Semester I-2011, recovery aset sudah mencapai Rp 3,2 triliun untuk cash dan non-cash. Total hampir 300 nasabah yang tercatat dalam recovery aset tersebut. "Dalam enam bulan ini (semester II-2011), target kita Rp 300-500 miliar bisa terkoleksi," ujar Fajar saat ditemui di kesempatan yang sama. Jadi, recovery aset bisa terkoleksi hingga Rp 3,7 triliun pada akhir tahun.
Fajar menambahkan, masih ada beberapa aset jumbo yang harus dikejar oleh Bank Mutiara. Sebagian besar didominasi oleh surat berharga. "Ada sekitar Rp 3-4 triliun surat berharga yang belum ditagih," katanya. Salah satunya adalah aset senilai US$ 156 juta di Dresdner Bank Swiss, sekarang LGT Bank, yang sedang disengketakan dengan perusahaan jasa keuangan asal Cayman Islan, Tarquin.
Menurut Maryono, tahap perebutan aset di Swiss ini sudah mulai masuk tahap awal di pengadilan. "Tarquin sudah menyampaikan jawaban atas gugatan kita, saat ini sedang diterjemahkan," terangnya.
Sementara itu untuk pengembangan bisnis inti bank, yaitu sektor small and medium (UKM), ada beberapa terobosan yang dilakukan bank. "Kita akan menjaga kredit konsumer sebesar 30 persen terhadap portofolio dan 70 persen untuk small and medium," ujar Maryono. Small and medium atau UKM akan difokuskan pada kredit perdagangan dan industri yang berhubungan dengan kebutuhan masal. Misalnya, pembuatan plastik dan alat-alat rumah tangga. Selanjutnya, Maryono tidak mengungkapkan berapa target UKM yang diinginkan.
Sebelumnya, analis Independen Aspirasi Indonesia Institute, Yanuar Rizky, mengungkapkan nilai fundamental Bank Mutiara masih jauh dari angka penjualan yang ditargetkan pemerintah, yakni baru 11 persen dari Rp 6,7 triliun. Perhitungan yang dilakukan Yanuar ini berdasarkan laporan keuangan bank pada akhir 2010 yang sudah diaudit. Untuk mendongkrak nilai fundamental ini, Yanuar berharap ada jaminan dari pemerintah untuk penagihan aset yang bermasalah atau recovery aset.
Sementara itu kinerja Bank Mutiara per Semester I-2011 semakin membaik. Aset bank saat ini sudah tembus Rp 12,5 triliun. Naik 47 persen dari periode yang sama tahun lalu. Outstanding kredit mencapai Rp 8,4 triliun dengan rasio kredit bermasalah (NPL Nett) sebesar 3,6 persen. Naik 46 persen dari periode yang sama tahun lalu. Dana Pihak Ketiga mencapai Rp 9,9 triliun atau naik 43 persen dari periode yang sama tahun lalu. Laba meningkat 156 persen, mencapai Rp 202 miliar. Laba disumbang oleh pendapatan bunga, pendapatan operasional, dan recovery aset.
Maryono percaya bahwa Bank Mutiara sedang berada di titik balik. Karena itu, ia optimistis merancang strategi bisnis untuk tiga tahun ke depan. Yakni dengan menargetkan pertumbuhan aset hingga Rp 20-25 triliun pada tiga tahun ke depan.
Sementara itu Maryono juga mengungkap target kinerja bank Semester II-2011. "Kita akan meningkatkan pelayanan," katanya. Selain karena jumlah nasabah yang terus meningkat, visi bank juga menjadi bank retail yang melayani small and medium enterprise atau UKM. Salah satu peningkatan pelayanannya adalah kerja sama Anjungan Tunai Mandiri Prima bersama Bank BCA pada November nanti. Dan sekaligus peluncuran produk baru, debit card dan internet banking.
Untuk meningkatkan fee based income atau pendapatan operasional di semester II, bank akan fokus pada transaksi banknotes. Saat ini transaksi banknotes mencapai Rp 6 triliun. Bank juga mengaku sudah menjalin kerja sama dengan 30 bank di Hong Kong, termasuk dengan HSBC bank. Kerja sama ini juga untuk membuka peluang pendapatan remitansi dari para tenaga kerja Indonesia di Hong Kong.
Sementara itu kredit akhir tahun akan digenjot hingga Rp 9,9 triliun. Dengan komposisi 30 persen untuk UKM, 55 persen untuk medium enterprise, sisanya retail. Untuk menggenjot kredit, bank melakukan channeling dengan Bank Perkreditan Rakyat. Saat ini sudah ada empat BPR di Jawa Tengah yang berkomitmen menjalin kerja sama penyaluran kredit. Sedangkan potensi kerja sama mencapai 110 BPR.
Sementara itu untuk penambahan modal, bank masih mempertimbangkan untuk melakukan subordinasi obligasi atau subdebt. "Estimasi kita, sekarang CAR 9,4 persen, untuk nambah 10 persen, hitungannya kita perlu modal Rp 200-300 miliar. Karena dari ekuitas Rp 100 miliar itu bisa ekpansi kredit 10 kali lipat," terang Fajar. Dan jika ekspansi kredit mencapai Rp 1 triliun, maka aset akan tergerus hingga 1 persen.
Jika jadi menerbitkan subdebt, maka nilainya diperkirakan mencapai separuh dari ekuitas, yakni Rp 450 miliar. Tapi penerbitan subdebt ini masih menjadi pilihan karena bank harus meminta izin pada pemegang saham, Lembaga Penjamin Simpanan.
FEBRIANA FIRDAUS