TEMPO Interaktif, Jakarta - PT Pertamina (Persero) akhirnya memutuskan untuk menunda kenaikan elpiji 50 kilogram yang dikonsumsi kalangan industri. Alasannya, masih belum ada persetujuan bulat dari pemerintah atas rencana tersebut.
"Pertamina diminta oleh pemerintah untuk meninjau ulang kenaikan harga LPG Industri 50 kilogram," ujar Vice President Corporate Communication Pertamina, Mochammad Harun, Kamis 7 Juli 2011. Semula, Pertamina berencana untuk menaikkan harga elpiji tersebut sebesar 10 persen dari harga sebelumnya pada pekan ini.
Pertamina bersikeras untuk menaikkan harga elpiji industri. Berdasarkan perhitungan Pertamina selama ini, dengan menjual harga di kisaran Rp. 7.355 per kilogram, perusahaan minyak dan gas pelat merah tersebut kerap merugi."Harga itu masih di bawah harga pasar yang sudah lebih dari Rp. 9.000 per kilo," ujarnya. Selisih harga jual tersebut selama ini ditanggung oleh Pertamina sehingga menyebabkan berkurangnya laba Pertamina sampai dengan Rp. 3,2 triliun di tahun 2010.
Kerugian penjualan selama kuartal pertama tahun ini bahkan telah mencapai Rp 1 triliun."Apabila harga tersebut dipertahankan, kemungkinan kerugian diperkirakan mencapai Rp. 3,6 triliun," tambah dia. Kondisi ini, katanya, tidak baik dibiarkan karena Pertamina sebagai BUMN memiliki kewajiban untuk mencari laba. Selain kerugian materiil, dengan mempertahankan harga seperti ini, masyarakat juga akan dirugikan. Pasalnya, dengan harga jual seperti ini Pertamina tidak dapat menambah volume penjualan elpiji industri.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Evita Herawati Legowo, menegaskan bahwa pihak Kementerian Energi memang belum memberikan persetujuan atas rencana Pertamina untuk menaikkan harga Elpiji Industri."Dari kam,i sih, belum. Kita harus mempertimbangkan banyak aspek. Jadi, tidak bisa semudah itu," katanya.
Kementerian Energi khawatir dengan kenaikan elpiji industri, maka akan tercipta disparitas harga yang semakin lebar dengan elpiji subsidi 3 kilogram. Disparitas harga ini nantinya dapat memicu konsumen bermigrasi secara ramai-ramai ke gas subsidi. Perbedaan harga yang tinggi tersebut dikhawatirkan pula dapat menimbulkan aksi pengoplosan gas di masyarakat yang dapat membahayakan konsumen.
GUSTIDHA BUDIARTIE