TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah terus menjajaki kemungkinan sumber pasokan sapi bakalan selain Australia. "Kami masih terus mendalami alternatif sumber impor sapi bakalan dari negara lain, di antaranya Amerika Serikat dan Meksiko," kata Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Kamis, 16 Juni 2011.
Pembukaan alternatif negara itu dinilai sebagai pendekatan pemerintah yang lebih bijak agar sumber impor sapi bakalan terdiversifikasi.
Seperti diketahui, Pemerintah Australia menghentikan pengiriman sapi bakalan ke Indonesia sejak awal Juni lalu. Kebijakan itu diambil karena cara pemotongan sapi di Indonesia dianggap tidak memenuhi standar kesejahteraan hewan. Sebab, ada bukti video yang ditayangkan oleh televisi ABC tentang penyiksaan sapi sebelum disembelih di Rumah Pemotongan Hewan (RPH).
Sebelumnya, Kepala Badan Karantina Kementerian Pertanian Banun Harpini mengatakan pemerintah memang sedang menjajaki beberapa negara unuk dijadikan sumber alternatif protein hewani, khususnya daging dan sapi hidup. Negara yang sudah dijajaki, antara lain Selandia Baru, Kanada, dan Brasil.
Opsi negara yang berpotensi jadi pemasok sapi bakalan tidak banyak. Sebab, pada Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, impor sapi bakalan dibatasi pada negara yang benar-benar bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Jadi, impor tidak bisa dilakukan jika ada satu wilayah dalam satu negara yang masih dinyatakan terjangkit penyakit seperti di India tersebut.
Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar menambahkan, sekarang sudah saatnya ada pemutakhiran terkait data negara-negara yang sudah bebas dari PMK. Dengan begitu, bisa diketahui negara mana saja yang bisa menjadi sumber impor sapi bakalan tanpa melanggar undang-undang.
Mahendra lalu mengatakan bahwa di lingkungan pemerintahan belum ada wacana untuk mengamandemen Undang-undang Nomor 18 tahun 2009 itu. Tapi, ia berharap ke depan, perumusan undang-undang itu dipertimbangkan dengan lebih baik. "Marilah merumuskan undang-undang, jangan menjadi sangat sempit kemudian malah menjerumuskan ke dalam masalah yang kita buat sendiri," ujarnya.
Ia menilai esensi undang-undang tidak hanya mengenai masalah teknis terkait persoalan dengan penyakit menular. “Tapi, juga persoalan ketahanan pangan kita," kata Mahendra.
EKA UTAMI APRILIA