TEMPO Interaktif, Jakarta - PT PLN (Persero) mulai mengerjakan pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sarulla di Tapanuli, Sumatera Utara, pada akhir tahun ini. PLN akhirnya mengambil alih pembangunan proyek tersebut lantaran lambatnya negosiasi dengan para investor.
Padahal, "Uang PLN sebesar US$ 70 juta sudah tertanam di proyek itu," kata Direktur Utama PT PLN Dahlan Iskan melalui pesan pendek, Jumat, 3 Juni 2011. Ia menegaskan, perusahaan listrik pelat merah itu dirugikan karena mundurnya pembangunan tersebut.
PLN sudah bernegosiasi dengan calon investor. Namun calon investor tak bisa menyelesaikan negosiasi dengan pihak terkait lainnya. Pembangunan PLTP Sarulla hingga kini dalam tahap negosiasi. Proyek ini dikembangkan konsorsium PGE/Medco, yang terdiri atas PT Medco Geothermal Indonesia, Ormat Technologies Inc (Amerika Serikat), dan Itochu Corporation (Jepang).
Ketika dimintai konfirmasi, juru bicara PT Pertamina Geothermal Energy, Adiyatma Sardjito, mengaku belum tahu bahwa PLN hendak menggarap proyek ini sendirian. Negosiasi masih berjalan antar-konsorsium. "Kami akan bicarakan lebih lanjut," katanya.
Sumber Tempo mengatakan negosiasi berjalan alot dan lama. Proyek ini sempat terhenti akibat krisis moneter pada 1997 dan diteruskan kembali pada 2003. Namun hingga kini belum ada titik temu dengan investor. Penyebabnya, penyandang dana proyek, Japan Bank for International Corporation (JBIC), meminta perubahan berkaitan dengan tiga hal, yaitu aset, tahap pembayaran listrik, dan perpanjangan waktu.
Dahlan tak peduli dengan nasib konsorsium tersebut. "Saya serahkan kepada mereka sendiri," katanya. Hingga kini pun belum terjadi transaksi dengan para calon investor.
PLN berencana membangun tiga pembangkit listrik dengan kapasitas masing-masing 110 megawatt. Model pengembangan adalah listrik swasta dengan pemegang wilayah kerja pertambangan adalah Pertamina Geothermal Energy.
Setelah beroperasi, PLN akan membeli listrik dari PLTP ini. JBIC menginginkan pembayaran langsung dari PLN ke bank milik Jepang tersebut. Namun uang tersebut seharusnya mampir ke Pertamina, selaku pemilik wilayah kerja pertambangan. Tapi, model ini tidak disepakati oleh JBIC.
NUR ROCHMI