“Yang pegang lima tahun ke atas itu ada 68 persen. Artinya, mereka akan hold sampai maturity,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, Kamis 23 Mei 2011.
Menurut Rahmat, para investor cenderung akan melepas SBN apabila terjadi gejolak di pasar. Namun, itu hanya berlaku SBN bertenor jangka pendek, di bawah lima tahun.
Rahmat mengatakan, komposisi portofolio para investor umumnya bertenor jangka panjang. Adapun yang jangka pendek dipegang untuk mencari keuntungan jangka pendek dengan jual-beli. “Tapi, kami tidak punya threshold berapa kepemilikan asing di SBN,” katanya.
Pemerintah, kata Rahmat, sudah mempunyai tahapan langkah apabila terjadi arus modal keluar. Pertama melakukan operasi pasar reguler dengan menggunakan dana yang sudah dianggarkan, misalnya dana buyback yang tahun ini sebesar Rp 3 triliun.
Tahap kedua, pemerintah akan memobilisasi dana-dana BUMN. Aksi korporasi ini dilakukan melalui koordinasi Menteri BUMN. “Fungsi pemerintah adalah memberikan sinyal kapan masuk,” katanya.
Kemudian tahap ketiga menggunakan idle cash pemerintah di BUMN. Untuk langkah ini, pemerntah sedang membuat rancangan peraturan menteri keuangan dan standar operasional dan prosedurnya seperti apa. Langkah ini akan melibatkan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Adapun langkah keempat untuk mengatasi terjadinya arus modal keluar adalah dengan menggunakan saldo anggaran lebih (SAL) APBN. “Penggunaan SAL ini harus diatur dalam UU. Kami sedang merancang pasal-pasalnya seperti apa,” katanya.
Menurut Rahmat, saat ini pemerintah tidak dalam posisi membeli karena market dalam posisi yang bagus. Meski kebijakan quantitative easing di Amerika Serikat akan selesai Juni tahun depan, Rahmat belum mengkhawatirkan kondisi pasar. “Ekonomi AS pertumbuhannya masih tertekan, sehingga SUN di sini dari sisi yield masih jauh lebih menarik” katanya.
Rahmat menjelaskan, meski ekonomi Amerika tumbuh positif, tidak secepat yang diperkirakan pasar. “Suku bunga kemungkinan masih akan ditekan,” katanya.
Kedua, situasi krisis di Eropa belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Kondisi ini membuat investor akan tetap melirik Indonesia. “Apalagi Indonesia sedang dalam proses ke investment
grade,” katanya.
IQBAL MUHTAROM