Peraturan Menteri Perdagangan 36/2009 pasal 2 tentang rotan yang diekspor dan dilarang ekspor menghilangkan nilai dari sebagian besar species rotan Indonesia. Menurut pasal itu, rotan yang boleh diekspor adalah jenis Taman Sega Irit (TSI) berdiameter 4/16 mm. Akibatnya, banyak jenis rotan alam Non-TSI dengan ukuran diameter sama bahkan lebih kecil (2mm-8mm) tidak diizinkan diekspor. Ini berarti spesies rotan tersebut kehilangan nilai.
Masih dalam peraturan itu pada pasal 4 ayat 2 tentang pengakuan sebagai eksportir rotan (ETR) hanya diberikan kepada perusahaan yang berdomisili di daerah penghasil rotan juga dinilai tidak bijak. Sebab, usaha rotan di daerah penghasil tertentu di luar Jawa pada umumnya dilakukan oleh usaha kecil menengah yang bukan eksportir.
Mereka tidak dapat melakukan ekspor dari daerahnya karena keterbatasan modal, pemasaran, maupun sarana transportasi atau pelabuhan dan ekspor.
Pasal 5 ayat 8 yang menyebut bahwa pemberitahuan ekspor barang (PEB) atas ekspor rotan disampaikan kepada kantor pabean di pelabuhan muat daerah penghasil rotan, juga dikeluhkan. Sebab, bisa jadi tidak terdapat ETR di daerah tersebut sehingga mereka sangat tergantung pada eksportir di luar daerahnya.
Misalnya, rotan dari Aceh, lebih mudah dibawa ke pulau Jawa dibanding ke Medan atau Padang akibat faktor kelancaran transportasi.
Ketentuan pasal tersebut selain menimbulkan beban biaya tinggi, juga mengakibatkan terhentinya usaha yang digeluti oleh UKM rotan di daerah penghasil.
Masih ada pula pasal 5 ayat 3 yang mengatakan persetujuan ekspor rotan setengah jadi Non-TSI diberikan dengan pertimbangan adanya bukti pasok oleh ETR kepada industri dalam negeri terhadap jenis rotan yang terserap dalam negeri atau disebut dengan "bukti wajib pasok" dalam negeri.
Adanya keharusan bukti pasok itu memberatkan karena dengan menurunnya pemakaian bahan baku rotan alam di dalam negeri yang disebabkan tren pemakaian rotan sintetis (dari plastik), produsen rotan sulit menjual rotannya ke dalam negeri.
Menurut Lisman, 80 persen furnitur dalam negeri menggunakan rotan plastik.
"Rotan asli tidak ada, sementara mereka (konsumen) sudah terlanjur cinta, maka mencari alternatif lainnya," ungkap Lisman. Selain itu, kuota ekspor diturunkan dari 50 persen menjadi 30 persen makin mempersulit posisi petani dan pengolah rotan.
Lisman Sumardjani, Sekretaris Jenderal APRI meminta pemerintah melibatkan APRI dalam mengatur tata niaga rotan ini. Menurut Lisman, pemerintah selama ini lebih banyak melibatkan Asosiasi Permebelan Indonesia (Asmindo). "Padahal mereka adalah konsumen, kami produsennya," ucap Lisman, hari ini.
Produksi rotan dalam negeri, menurut Lisman, mubazir karena dari data 2009 saja, hanya 67.986 ton rotan dari 696.000 ton yang terserap pasar dalam negeri. Ini berarti ada 628.014 ton yang sia-sia. "Apalagi tahun ini," kata Lisman.
APRI berharap, jika Kementerian Perindustrian ingin menutup ekspor rotan secara total, Kementerian harus membeli semua produksi rotan dalam negeri secara kontan.
ATMI PERTIWI