TEMPO Interaktif, Jakarta - Ekonom menyatakan konflik geopolitik yang sedang berlangsung di Libya saat ini tidak akan berdampak ekstrem dan permanen pada harga minyak dunia. Sebab, Libya tak masuk penghasil utama minyak di dunia.
"Walaupun Libya memiliki cadangan minyak terbesar di Afrika Utara, tapi produksinya masih di bawah," kata ekonom senior Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan, saat memberi paparan di Crown Hotel, hari ini (29/3).
Ekonom Standard Chartered Eric Sugandi mengimbuhkan produksi minyak Libya mencapai 1,3 juta barel per hari. Beda tipis dengan target produksi Indonesia 970 ribu barel per hari. Sedangkan, negara produsen utama mencapai lebih dari 2 juta barel per hari.
Di peringkat pertama ada Rusia dengan hampir 10 juta barel per hari, Arab Saudi 8-9 juta barel per hari, Amerika Serikat 5-6 juta barel per hari, Iran dan Cina 4-5 juta barel per hari, sisanya Kanada, Meksiko, Nigeria, Uni Emirat Arab, Irak, Kuwait, Venezuela, Brasil, Norwegia, dan Algeria yang juga hampir setara sekitar 2-3 juta barel per hari.
Di kawasan Timur Tengah dan Afrika, Libya juga bukan produsen utama. Ceruk produksi minyak Arab Saudi dan Iran jauh meninggalkan Libya. Maing-masing menguasai 9,8 persen dan 4,7 persen pasar produksi minyak dunia.
Walau begitu, cadangan minyak Libya merupakan yang terkokoh di Afrika. Yakni mencapai 46,4 miliar barel selama 2011. Mengalahkan Nigeria yang mencapai 37,2 miliar barel, Aljazair 12,2 miliar barel, Angola 9,5 miliar barel, Sudan 5 miliar barel, dan Mesir 4,4 miliar barel.
Libya juga merupakan pemasok minyak tanah yang penting bagi dua negara Eropa, Itali dan Perancis. Inilah alasan mengapa Eropa terlihat sangat marah pada Libya. "Produksi minyak dunia tidak terkonsentrasi di Timur Tengah. Kelihatan yang nafsu sekali bukan Amerika, tapi negara-negara Eropa," katanya.
Namun, Fauzi optimistis harga minyak dunia ini akan stabil. Meski ia tidak bisa memprediksi kapan kondisi geopolitik di Timur Tengah dan Afrika Utara akan berakhir.
FEBRIANA FIRDAUS