TEMPO Interaktif, Jakarta -Kawasan timur Indonesia tidak pernah lepas dari kondisi rawan pangan. Kondisi alam yang menyulitkan akses distribusi pangan dan tingkat kemiskinan tinggi menjadi faktor utama.
Menurut Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin, terdapat 13 indikator untuk menentukan suatu daerah termasuk dalam kategori rawan pangan atau tidak.
"Penduduk di kawasan timur, terutama Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, dan Papua Barat memenuhi hampir dari 13 kriteria tersebut. Ini potensi rawan pangan," ujar Bustanul saat dihubungi Tempo, hari ini (22/3).
Pemetaan kerawanan pangan berdasarkan 13 indikator di antaranya rasio konsumsi penduduk terhadap ketersediaan karbohidrat, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan, rumah tangga yang tidak punya akses listrik, air bersih, jalan penghubung, persentase harapan hidup, perempuan buta huruf, serta kondisi alam seperti penyimpangan curah hujan dan kerusakan hutan.
Kawasan timur sejak tahun 1990-an telah beralih dari konsumen sagu menjadi beras, karena harga beras lebih murah dan lebih mudah didapatkan. Selain itu, volume kepadatan karbohidrat lebih banyak beras daripada sagu. Perbandingannya kadar karbohidrat 1 kilogram beras setara dengan 5 kilogram sagu.
"Karena beras lebih murah, saat ini sagu hanya menjadi makanan eksotik bukan pokok," ujarnya.
Selain itu kondisi rawan pangan berkaitan erat dengan tingkat kemiskinan. Semakin banyak penduduk miskin, semakin banyak jumlah per kapita yang tidak punya akses untuk membeli komoditas pangan.Kondisi alam di kawasan timur juga menyulitkan distribusi pangan.
"Dengan tantangan yang lebih berat untuk kawasan timur, seharusnya pemerintah pusat fokus pada pemecahan masalah tersebut," ujarnya.
Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatur tentang diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, pemerintah mendorong alternatif sumber karbohidrat selain beras. Bustanul memaparkan diversifikasi pangan harus terintegrasi dengan program pengentasan kemiskinan agar efektif.
Diversifikasi pangan juga wajib dibarengi dengan pengembangan teknologi. Sumber karbohidrat seperti sagu dan umbi-umbian yang mengandung kadar karbohidrat lebih rendah dari pada beras dapat diolah menjadi tepung agar kadar karbohidrat lebih padat dan volume tidak terlalu besar. Proses pengolahan inilah yang memerlukan teknologi.
DWITA ANGGIARIA