TEMPO Interaktif, Jakarta - Turunya harga minyak dunia sejak Selasa kemarin, tak mampu membuat pasar global tenang. Investor tetap mewaspadai dampak kerusuhan politik yang terjadi di Timur Tengah. Kerusuhan di Libya membuat investor khawatir akan terhambatnya pasokan minyak. Mereka khawatir harga bahan bakar bisa tinggi sewaktu-waktu dan menggerus pendapatan perusahaan.
"Minyak memang telah berhenti naik untuk sekarang, tapi itu belum benar - benar ada di titik aman khususnya untuk investasi dalam aset beresiko, sehingga investor masih akan gelisah," kata Hiroichi Nishi, general manager Nikko Cordial Securities seperti dikutif Reuters, Selasa (8/3).
Perdagangan saham di beberapa negara hanya menunjukkan kenaikan tipis. Indek bursa Nikkei Jepang Selasa tengah hari kemarin misalnya naik 1,3 persen, atau 133,52 poin, ke 10,659.55. Sementara Indeks saham Asia Pasifik di luar Jepang naik tipis 0,01 persen, didominasi keuntungan dalam barang konsumen dan keuangan. Indeks Harga Saham Gabungan Korea (KOSPI) juga naik 0,20 persen pada 2,000.28 poin pada 0205.
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) akan menggelar pertemuan informal untuk membahas lonjakan harga minyak yang terjadi akibat kerusuhan di Libya.
Salah satu topik pembicaraan adalah kemungkinan menaikkan produksi minyak. "Kami sedang berkonsultasi, namun belum tahu arahnya ke mana," ujar Menteri Perminyakan Kuwait Syekh Ahmad Abdullah al-Sabah kemarin.
Ahmad membantah kabar bahwa Kuwait telah menaikkan produksi minyak mentahnya. "Kami tidak menaikkan produksi," ujar dia. Kuwait adalah produsen minyak mentah terbesar kelima di OPEC.
Pernyataan Menteri Ahmad tersebut berhasil meredam harga minyak. Dalam perdagangan elektronik di New York Mercantile Exchange kemarin, harga minyak untuk pengiriman April turun US$ 2,11 menjadi US$ 103,33 per barel.
Meski begitu, harga minyak saat ini masih bertengger di level tertinggi sejak 26 September 2008. Para pedagang khawatir unjuk rasa di Timur Tengah akan meluas sampai ke Arab Saudi, produsen terbesar OPEC.
ERWIN DARIYANTO/REUTERS