Minyak mentah jenis Light Sweet untuk kontrak bulan April kembali naik US$ 2,68 (2,8 persen) menjadi US$ 98,1 per barel di New York Mercantile Exchange semalam. Ini merupakan harga tertinggi minyak sejak 1 Oktober setelah harga minyak turun dari level tertinggi sepanjang sejarahnya US$ 147 per barel pada musim panas tahun tersebut.
Lonjakan ini merupakan dampak dari berlanjutnya kepanikan beli investor akan bahan bakar minyak yang diprediksikan akan terus melambung karena krisis Timur Tengah. “Pasar akan tetap fokus terhadap meluasnya kerusuhan di Lybia,” ujar penasehat pasar di New Jersey, Bill O’Neill.
Untuk kontrak bulan Mei sempat menyentuh level tertingginya hingga ke US$ 100,01 per barel, untuk pertama kalinya menembus level US$ 100 sejak 2 Oktober 2008.
Harga minyak laut utara (Brent) yang merupakan patokan harga minyak di Eropa juga menguat. Untuk antaran bulan April harganya juga naik US$ 5,47 (5,2 persen) dan ditutup US$ 111,25 per barel, level tertingginya sejak 29 Agustus 2008.
Harga komoditas bahan bakar minyak (gasoline) juga naik dan diperdagangkan pada level tertingginya sejak September 2008.
Perhatian dunia saat ini tertuju pada Lybia yang kaya akan cadangan minyak dan sedang dilanda demonstrasi anti pemerintah. Pemimpin Kolonel Moammar Ghadafi menolak untuk melepaskan kekuasaan sehingga terjadi bentrokan yang mengakibatkan ratusan jiwa meninggal memicu lonjakan harga minyak.
Pengunjuk rasa anti pemerintah di Tobruk dan Beghazi mengatakan mereka telah menguasai kota- kota di Lybia Timur. Beberapa personel angkatan Darat ada yang bergabung dengan para demonstran menambah kekhawatiran dunia.
Analis dari JP Morgan mengemukakan, sebenarnya kita memiliki potensi untuk penambahan pasokan dari negara – negara pengekspor minyak (OPEC) lainya. Jika kita kehilangan produksi 1,3 juta barel per hari dari ekspor Lybia bisa saja ditutup oleh produksi Arab Saudi yang dipaksa untuk menaikkan produksinya sampai ketingkat tertingginya pada tahun 2008. Namun, tetap saja ada kekhawatiran.
"Harga minyak mentah bisa mencapai US$ 220 per barel jika negara – negara kawasan Timur Tengah menghentikan produksi minyaknya bersama – sama,” kata Michael Lo, analis dari Namora.
Pembanding yang terdekat adalah saat terjadi perang Teluk 1990 – 1991 membuat produksi minyak dunia turun. “Kerusuhan juga dapat mengurangi kapasitas cadangan OPEC ke level terendahnya yang terlihat selama perang tersebut serta pada musim panas 2008 lalu,” ujar Lo.
Beberapa perusahaan minyak asing di Lybia juga telah mengevakuasi karyawannya dari Lybia seperti BP Plc, Wintershal AG, serta perusahaan kimia BASF AG yang juga telah mengumumkan penghentian operasinya di negara itu.
MARKETWATCH/ VIVA B. KUSNANDAR