Selama 12 bulan ke depan industri pengemasan Indonesia akan memperlihatkan tingkat pertumbuhan menurun dibandingkan tahun lalu. Pertumbuhan industri ini diprediksi berada di kisaran tujuh persen. Namun dalam waktu dua atau tiga tahun kedepan tingkat pertumbuhan akan kembali di kisaran 10-15 persen per tahun.
Industri pengemasan bertumbuh hingga dua digit yaitu 12 persen pada 2005 dengan pangsa pasar US$2,5 juta. Namun pada 2009 rata-rata pertumbuhan hanya sembilan persen dengan pangsa pasar US$3,9 juta. Tahun lalu pangsa pasar industri ini naik tipis menjadi US$4,1 juta.
Jenis flexible packaging (kemasan lentur) mendominasi pangsa pasar sampai 40 persen. Berikutnya pengemasan berbahan paperboard adalah yang paling banyak digunakan, yaitu sekitar 31 persen. Sedangkan kemasan berbahan plastik murni hanya memiliki pangsa sebesar 15 persen. "Flexible packaging adalah segmen bahan pengemasan yang paling besar dan paling cepat pertumbuhannya," kata Henky.
Salah satu yang akan mendorong pertumbuhan industri pengemasan flexible packaging adalah adanya kecenderungan masyarakat beralih ke pasar ritel moderen. Trend ini dipastikan akan meningkatkan permintaan terhadap flexible packaging. Industri yang menggunakan kemasan jenis ini terutama makanan dan minuman.
Namun industri ini masih menghadapi beberapa persoalan diantaranya bahan baku yang maasih harus diimpor dan tingkat bunga serta pajak yang tinggi. Henky mengatakan sekitar 25-40 persen dari bahan baku kemasan masih diimpor. Terutama untuk produksi kemasan dengan teknologi tinggi.
Hal ini kurang menguntungkan karena harga bahan baku cenderung fluktuatif. Tingkat fluktuasi harga bisa antara 0-80 persen, tergantung pada harga stok pangan serta kecenderungan permintaan dan penawaran.
Sedangkan tarif impor untuk bahan baku sampai saat ini bervariasi antara 0-20 persen. "Tingkat suku bunga pinjaman juga masih tergolong tinggi dan pada saat yang sama tingkat pertukaran mata uang rendah," terang henky.
KARTIKA CANDRA