TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah sebaiknya membuka opsi menghapus subsidi bahan bakar minyak. Dana itu sebaiknya dialokasikan untuk program pengentasan kemiskinan dan penambahan lapangan kerja.
"Dampak kenaikan harga BBM pasti ada terhadap inflasi tapi bisa ditekan dengan mengalokasikan subsidi BBM Rp 80 triliun untuk orang miskin," ujar ekonom dari Insitute for Development of Economic and Finance (INDEF) Aviliani ketika dihubungi semalam.
Menaikkan harga secara bertahap, menurut dia, hanya akan memberi dampak psikologis, terutama terhadap harga barang dan jasa. Ditambah lagi, jika kenaikan bertahap itu tidak diimbangi dengan pergerakan harga minyak internasional, seperti dua tahun lalu.
Ketika itu harga minyak sempat menyentuh US$ 147 per barel, sehingga pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Namun, ketika harga minyak turun hingga ke level di bawah US$ 30 per barel, tidak ada penurunan harga BBM bersubsidi.
Mekanisme lain untuk menghemat subsidi BBM, Aviliani mengatakan, dengan memakai kartu pintar atau smart card, seperti yang diterapkan di salah satu negara penghasil minyak terbesar di dunia, Irak. "Ketika jatah per bulan untuk satu orang habis, maka kartu tersebut mati dengan sendirinya, konsumen harus membeli BBM non-subsidi," katanya.
Oleh karena itu, ia tidak sepakat dengan rencana pemerintah yang membatasi konsumsi BBM bersubsidi hanya di wilayah Jabodetabek atau berdasarkan tahun mesin kendaraan. "Mekanisme seperti ini menimbulkan disparitas harga sehingga moral hazzardnya terlalu besar," ujar Aviliani.
Pemerintah berencana mengurangi subsidi BBM secara bertahap. Ada beberapa opsi yang disiapkan mulai awal tahun depan. Salah satunya, semua kendaraan plat hitam dilarang memakai BBM bersubsidi.
SORTA TOBING