“Pemegang saham dari dua perseoan sudah sepakat dalam penggabungan ini. Semua saham BAT Indonesia akan ditukar dengan saham Bentoel dengan rasio 7,68 saham Bentoel untuk setiap saham BAT Indonesia,” kata Nicholas Tirtadinata, Direktur Utama PT Bentoel Internasional Investama di Jakarta, Jumat (4/12).
Bentoel, yang memiliki, memproduksi 92 persen rokok kretek dan sisanya rokok putih. Penggabungan dua raksasa produsen rokok secara resmi berjalan pada 1 Januari 2010. Aset dan kewajiban BAT Indonesia akan beralih atas dasar hukum kepada Bentoel sebagai perusahaan yang bertahan. Dan Bentoel tetap terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia.
Penggabungan tersebut akan membentuk perusahaan rokok tunggal yang lebih kuat di Indonesia dengan daya saing bernasional lewat pendistribusian yang lebih luas. Namun jajaran manajemen tidak akan mengalami banyak perubahan. Hanya sebagian kecil saja yang diganti. Sedangkan perseroan tetap menggunakan bendera PT Bentoel Internasional Investama.
Nicholas sendiri akan bergeser menduduki kursi komisaris. Posisinya digantikan Jeremy Pike. Komisaris utama dijabat Djoko Moeljono. Setelah penggabungan, BAT akan menguasai 98,26 persen saham di perusahaan hasil gabungan. “Penggabungan ini juga menawarkan produk yang lebih beragam, baik rokok putih maupun kretek,” kata Nicholas.
Ia menambahkan, produksi rokok di Indonesia dibatasi 260 miliar batang per tahun. Pasca merger, Bentoel dan BAT--yang memiliki pabrik di 40 negara dan cabang di 108 negara--bakal menguasai 8,2 persen pangsa pasar rokok di Indonesia. Sebelum merger keduanya hanya menguasai 6,1 persen.
Pertengahan Juni lalu, Grup Rajawali melepas kepemilikan 56,96 sahamnya di Bentoel Internasional Investama Tbk kepada British American Tobacco. Nilai transaksi ini mencapai Rp 3,35 triliun, lebih tinggi sekitar 20 persen ketimbang penutupan perdagangan saham Benteol pada 15 Juni yang bernilai Rp 730 per lembar.
Dengan harga tersebut kapitalisasi pasar Bentoel nilainya sekitar Rp 5,878 triliun hingga Desember 2008, dan nilai utang bersih Bentoel sekitar Rp 1,670 triliun.
MUH SYAIFULLAH | BC