Namun, dia menilai hal ini wajar karena beban bunga utang akan selalu naik setiap tahun mengikuti jumlah penerbitan Surat Utang Negara yang terus ditambah. Penerbitan surat utang itu dilakukan dengan menyesuaikan kebutuhan pembiayaan defisit dan belanja anggaran yang semakin ekspansif.
Dia mencontohkan, kebutuhan defisit tahun ini awalnya hanya dipatok 1 persen. Tapi, setelah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui program stimulus, defisit ditingkatkan hingga 2,4 persen. Pemerintah pun harus mencari sumber pembiayaan tambahan untuk menutup lonjakan defisit.
"Belum lagi kenaikan utang jatuh tempo untuk refinancing. Kebutuhan untuk refinancing utang juga meningkat," kata Rahmat di Departemen Keuangan, Jakarta, Rabu (2/12).
Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang menunjukkan, beban bunga utang tahun ini dianggarkan Rp 109,59 triliun, naik 24 persen dari anggaran tahun lalu yang hanya mencapai Rp 88,43 triliun. Hingga Oktober 2009, outstanding utang pemerintah dari pinjaman dan penerbitan surat berharga negara mencapai Rp 1.602,2 triliun.
Meski beban bunga meningkat, Rahmat menekankan, pengelolaan utang negara semakin efisien untuk membiayai pembangunan. Buktinya, produk domestik bruto (PDB) makin tinggi. "Sehingga rasio utangnya terhadap PDB juga turun," ujarnya.
Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Harry Azhar Azis menilai pengelolaan utang tidak transparan karena utang yang dimunculkan dalam usulan anggaran pendapatan dan belanja negara adalah nominal utang. "Tidak pernah ada kejelasan term and conditions-nya," katanya.
Akibatnya, kata dia, pemerintah pun tak bisa menjelaskan apakah penambahan utang itu bersifat produktif atau justru menambah jerat utang baru.
AGOENG WIJAYA